emrus sihombing

Jakarta (Metrobali.com)-

Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengatakan pembahasan mekanisme pemilihan kepala daerah dalam perumusan RUU Pilkada tak ubahnya “sandiwara politik” yang kini sedang dipertontonkan sejumlah partai kepada rakyat.

“Peta suara, berdasarkan dinamika politik yang dapat kita tangkap pada wacana politik di ruang publik, sebagai ‘sandiwara politik’ yang dipertontonkan kepada rakyat,” ujar Emrus Sihombing dihubungi di Jakarta, Selasa (23/9).

Emrus memandang, dua sikap yang muncul ke permukaan, yakni mekanisme pilkada langsung oleh rakyat (seperti yang diinginkan koalisi partai pengusung Jokowi-JK), serta mekanisme pilkada oleh DPRD (layaknya dikehendaki partai Koalisi Merah Putih), membuat pembahasan RUU Pilkada seolah hanya kewenangan elite dan penguasa.

Dia menakar, jika merujuk pada kumpulan partai kedua koalisi, wacana pilkada dikembalikan kepada DPRD awalnya diperkirakan akan menang berkat dukungan partai Koalisi Merah Putih yang jumlah suaranya mayoritas di DPR.

Namun, bergesernya suara DPP Partai Demokrat, diyakini akan membuat peta suara di DPR berubah.

Emrus menilai realitas politik berlangsung sangat intensif di ruang privat, di mana antaraktor politik melakukan dialektika politik. Di ruang privat ini dapat terjadi kesepakatan mekanisme pilkada mana yang menjadi pilihan.

Menurut Emrus, apabila pengesahan RUU Pilkada ditempuh melalui voting, maka akan terjadi kejutan.

Dia memperkirakan akan terdapat anggota DPR RI yang tidak sejalan dengan garis partainya dan mendukung pilkada langsung dengan menggunakan hati nurani, terutama mereka yang akan berakhir jabatannya pada Oktober ini.

Hal itu terjadi karena pilkada langsung dirasa lebih demokratis, sementara pilkada tidak langsung merupakan “pemerkosaan” terhadap kedaulatan rakyat.

“Melihat dukungan SBY dan Partai Demokrat serta terjadinya gejolak internal di PPP dan pecahnya suara Golkar, itu memperlihatkan dukungan pilkada langsung maka suara anggota DPR RI akan memenangkan pilkada langsung,” ujar dia.

Disisi lain, kata Emrus, bisa pula terjadi politik “gali lubang” untuk menjerumuskan partai dan atau aktor politik tertentu. Misalnya, apabila pilkada dikembalikan ke DPRD, kemudian pada gilirannya partai-partai bergabung dalam koalisi pendukung Jokowi-JK, maka kepala daerah akan dikuasai kubu Jokowi-JK.

“Partai yang tidak ikut berkoalisi akan terjebak pada ‘lubang’ tadi. Dan paling tidak ada dua partai yang sulit bergabung dengan koalisi Jokowi-JK yaitu Gerindra karena ‘luka’ pilpres belum cair, dan partai PKS karena secara ideologis partai ini memiliki ideologi, visi dan misi yang sangat berbeda dengan PDI Perjuangan,” paparnya.

Oleh karena itu Emrus menilai RUU Pilkada sejatinya menjadi pertarungan politik antarpartai pendukung Pilpres yang baru saja berlalu.

“Siapa yang menjadi pemenang akan menguasai politik daerah. Jadi perjuangan RUU Pilkada adalah bentuk politik merebut kekuasaan dari pinggir (daerah) menuju pusat sebagai ‘politik makan bubur’,” ucapnya.

Hak rakyat Sementara itu, anggota DPD RI terpilih asal Maluku Nono Sampono meminta DPR RI tidak memangkas hak rakyat dalam pemilihan kepala daerah dengan mengembalikan kewenangan kepada DPRD.

“Saya mengatakan jangan pangkas hak rakyat. Biarkan lah pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat,” kata Nono.

Nono yang juga kandidat Ketua DPD RI itu mengatakan, jika alasan sejumlah fraksi di DPR mengembalikan kewenangan pemilihan kepala daerah kepada DPRD adalah untuk menghemat biaya dan mencegah praktik korupsi, maka hendaknya DPR bersama pemerintah membuat suatu aturan baru, bukan memangkas hak politik rakyat.

“Kalau ada masalah, bermainnya di aturannya saja, jangan hak rakyat yang dipangkas, karena kita ini sudah maju,” tukas dia.

Dalam pembahasan RUU Pilkada, muncul wacana dari partai Koalisi Merah Putih untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD atas alasan penghematan dan meminimalisasi lahirnya pemimpin daerah yang korupsi.

Alasan itu mendapat penolakan dari koalisi partai pendukung Jokowi-JK. Sedangkan Demokrat sendiri menyatakan mendukung pilkada langsung oleh rakyat, asalkan ada beberapa poin persyaratan yang diakomodasi dalam RUU Pilkada.

Terkait hal ini pengamat politik Universitas Jayabaya Igor Dirgantara mengatakan menjelang Sidang Paripurna 25 September 2014, penolakan RUU Pilkada sejatinya semakin nyata.

Hal itu ditandai dengan sikap Partai Demokrat yang mendukung pilkada langsung, dan sudah mengintruksikan agar semua anggota DPR-nya, baik yang terpilih lagi, maupun tidak, untuk hadir dalam Sidang Paripurna untuk antisipasi jika terjadi voting.

Selain itu sikap Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono diyakini secara psikologis akan membelah Koalisi Merah Putih yang mendukung Pilkada lewat DPRD, terlebih kader muda Partai Golkar cenderung mendukung pasangan Jokowi-JK saat Pilpres kemarin.

“Di samping itu selalu ada kemungkinan muncul lobi politik untuk memenangkan pilkada langsung dengan sejumlah perbaikan ke depan, dan bukan sebaliknya,” ujar Igor. AN-MB