I Gede Sudibya
Penanganan Covid-19 di Bali khususnya dan Indonesia serta dunia belum bisa diprediksi kapan selesainya. Bali boleh berbangga dengan penanganan Covid-19 cukup memberi nilai signifikan dengan jumlah kumulatif positif Covid-19 sebanyak 314 orang, dengan tingkat kesembuhan cukup tinggi yaki 210 orang dan dengan kematian yang rendah yaitu 4 orang. Itu adalah contoh data pasca tindakan penanganan Virus. Lalu bagaimana dengan data di lapangan yang tidak terukur jumlah yang berpotensi Covid?. Berikut adalah hasil wawancara wartawan Metrobali.com Nyoman Sutiawan dengan l Gde Sudibya,  pengamat sosial ekonomi dan juga Ketua Pusat Kajian Hindu ( The Hindu Centre ), Ketua Departemen Ekonomi Politik WHP.( World Hindu Parisad ) Denpasar.
——————————————————————
Tanya : Bagaimana pengamatan Anda soal penanganan Covid-19 di Bali?
Jawab : Selamat pagi Pak Man, setelah disimak  pemberitaan tentang Covid-19 di Bali  khususnya laporan Tim Penanggulangan provinsi, lebih banyak memuat atau memberitakan  tindakan pasca kejadian ( post factum ).
Tanya : Bisa Anda memberikan contoh berita yang hanya memberitakan setelah tindakan pasca kejadian?
Jawab :  Berita-berita seremoni pemberian bantuan dan sumbangan, cerita ” sukses” tentang angka kematian yang rendah, jumlah sembuh yang tinggi, perkiraan berupa bulan Juni pandemi Covid-19 akan berakhir ( tanpa didukung oleh data yang kredibel ). Informasi ini penting, namun jauh lebih penting jika pemerintah mampu menjawab substansi pandemi ini sebelum mewabah lebih luas.
Tanya : Apa implikasi pemberitaan model itu dan dampaknya dalam penanganan Covid-19 di Bali?
Jawab : Muatan atau isi komunikasi model begini, memberikan impresi bahwa: tim telah berhasil dalam kerjanya, bahkan ” prestasi” tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya. Badai akan berlalu, bulan Juni ini dengan jumlah terpapar positif relatif kecil, demikian juga dengan angka kematian.
Tanya : Bagaimana pengamatan Anda sepanjang ini soal penangann virus corona ini oleh Tim. Apakah sudah terjawab subtansi penanganannya?
Jawab :  Pada sisinya yang lain, sepanjang pemberitaan yang tiyang ikuti, nyaris tidak pernah disinggung sejumlah isu penting     yang dari perspektif manajeman menjadi faktor penentu/determinan bagi efektivitas ” peperangan ” melawan pandemi. 
Tanya : Bisa dikasi contoh penanganan Covid-19 yang tidak terukur dan akurat datanya?
Jawab : Menyebut beberapa dari faktor strategik ( strategic variables ) yang dimaksud. Pertama, berapa jumlah test yang telah dilakukan di seluruh Bali yang meliputi RGT, PCL (SWAB ), apabila dibandingkan  dengan jumlah penduduk. 
Tanya : Kenapa strategi ini penting menurut Anda?
Jawab : Rasio ini menurut para akhli epidemiologi dan bio statistik, merupakan data penting untuk memproyeksikan: proyeksi orang yang terpapar dan sebarannya per wilayah. Kalau rasio ideal ini, tidak terpenuhi, masyarakat paling tidak para pengamat kebijakan publik tidak tahu apa kendalanya: dana, terbatasnya alat test, jumlah SDM yang mengoperasikan alat. 
Tanya : Apa yang mesti dilakukan tim penanganan Covid-19 di Bali terutama para PMI ini?
Jawab : Karantina PMI menjadi isu penting. Paling tidak karena dua alasan: banyak krama yang harus dikarantina dan munculnya kasus Br.Serokadan Bangli dan Desa Bondalem Buleleng.  Apa langkah tim untuk merivisi protokol karantina ini, terutama setelah ada informasi masa inkubasi virus lebih dari 14 hari. Info ini penting untuk menenangkan  masyarakat dari risiko penularan yang sumbernya lokal ( transmisi lokal ). 
Tanya : Apakah keputusan Bali memilih tidak melakukan PSBB ini tepat?
Jawab : Bali memilih untuk tidak melakukan PSBB, akan tetapi provinsi “sebelah” Jatim, Surabaya Raya dan rencananya disusul oleh Malang Raya melakukannya. Semestinya, Bali harus tegas, memilih PSBB atau tidak. Tapi dalam kenyataan, terjadi pengetatan orang melakukan mobilisasi.
Tanya : Lalu apa yang mesti dilakukan Pemprov Bali?
Jawab : Jika tidak mengambil kebijakan PSBB apa strategi tim, untuk melindungi Bali dari risiko transmisi antar provinsi akibat pergerakan orang, dan efektivitas dari sistem yang dipilih. Seperti sesonggan Bali mengingatkan: ” care pindakanne cenik, meputer ye tapi sing munyi”. Kerja rame dan banyak tapi tidak efektif. Kearifan bahasa yang dapat dijadikan wadah untuk bercermin. 
Tanya : Apakah Anda melihat bentuk kerjasama yang real antara negara dengan lembaga adat?
Jawab :  Dalam kontek strategi perang melawan Covid-19 belum terlihat. Apa bentuk kerjasama Negara dengan badan swadaya Desa Adat dalam menanggulangi pandemi ini. Kerja sama yang diletakkan dalam konteks strategi ” perang” melawan pandemi, dengan efektivitas kerja yang lebih terukur. Menghindari kerja tumpang tindih ( over lapping )  juga sebaliknya. Terabaikannya persoalan yang harus digarap. Bukan sebatas seremoni.
Tanya : Apakah himbauan dari Tim ke masyarakat hidup desiplin sudah diikuti dengan kompak?
Jawab : Setelah himbauan protokol kesehatan seperti: pakai masker, jaga jarak dan hindari berkumpul boleh dikatakan belum atau tidak berhasil kalau tidak mau dikatakan gagal. 
Tanya : Apakah langkah Tim untuk menjamin protokol yang dimaksud diikuti dengan tertib dan disiplin.

Jawab : Kesannya ( mudah-mudahan keliru) bahwa Tim tidak melakukan proyeksi terhadap masa puncak pandemi, timbul pertanyaan: apa strategi tim  kalau ” ledakan ” krisis terjadi di masa yang dimaksud terutama untuk kesiapan sistem pelayanan kesehatan dan kemungkinan risiko kepanikan masyarakat. Atau masa puncak sulit dihitung ( karena terbatasnya data), sehingga rentang waktu pandemi menjadi lebih panjang, apa strategi Tim untuk menyelamatkan ekonomi rakyat terutama bagian masyarakat yang sangat rentan secara ekonomi. (***)