Oleh : I Gde Sudibya

Pasca pandemi, ada musuh bersama ( common enemy ) yang dihadapi yakni virus berukuran beberapa mikron yang tidak kasat mata yang mengancam keselamatan jiwa. Dan ini pula yang memperpanjang krisis ekonomi dan melahirkan kemiskinan, pengangguran dan risiko kebangkrutan usaha. Krisis ekonomi juga dapat berdampak terhadap kondisi psikologis warga, dan kerentanan sosial yang dibawakannya.

Musuh bersama ini, yang dari perspektif kebijakan publik, memerlukan kebijakan cerdas dan cepat dan ini pula diperlukan jiwa dan kebijakan sense of crisis. Di mana kebijakan yang terfokus dan terukur, tidak cukup dengan pernyataan normatif dan himbauan, tanpa kecerdasan implementasi. Apabila seorang pemimpin kehilangan sense of crisis (kepekaan akan situasi krisis) maka mereka akan ditinggalkan oleh pendukung dan rakyatnya.

Oleh karena itu, perlu energi besar. Tidak saling menyalahkan satu dengan yang lainnya. Energi warga secara sosial difokuskan untuk melawan musuh bersama ini, dengan semangat paras-paros. Tidak terkuras untuk hal-hal yang sarat prasangka, komunikasi yang “salah tampi” dan aliran pendapat di media sosial yang nyaplir yanf bisa menambah runyam situasi dan kondisi di bawah.

Republik Sapi Perah

Persolan lain dihadapi di tengah covid ini adalah persolan korupsi. Dan ini sangat ironis, di tengah masyarakat kehilangan pekerjaan dan pendapatan justru korupsi marak terjadi di kalangan politisi, Menteri dan Gubernur.

” Korupsi sudah merambah ke semua lini kehidupan bangsa. Dari desa yang tersuruk sampai pusat kekuasaan. Tidak ada yang benar-benar bersih. Sekiranya letak geografis Indonesia  di selatan Sahara Afrika, bangsa dan negara ini sudah lama tenggelam. KUKUT. Gagal karena sebagian adalah cicit-cicit VOC”. Achmad Syafii Maarif, dalam Kompas, Sabtu, 27 Februari 2021.

Kita contohkan penangkapan Gubernur Sulawesi Selatan. Terhadap tokoh ini, tadinya banyak pihak menaruh harapan, karena prestasinya yang gilang-gemilang. Tetapi realitasnya sekarang?

Fenomena ini, dapat mengingatkan kita akan ucapan terkenal tokoh pejuang HAM yang kemudian menjadi Presiden AS Thomas Jefferson. Pada umumnya orang siap menderita dalam kurun waktu yang lama, tetapi berikan mereka kekuasaan, maka akan segera kelihatan karakter aslinya.

Frasa kalimat: ” Gagal karena sebagian adalah cicit-cicit VOC. Dari Buya Syafii, intelektual dan juga sejarahwan, dapat mengingatkan kita akan kegagalan VOC, pemegang monopoli di jajahan Hindia Belanda, yang kemudian bangkrut karena korupsi.

Sejarah mencatat, VOC dibubarkan, dan pengelolaan ekonomi dikendalikan oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia.

Barangkali, pesan moral dari tulisan Buya Syafii di atas, mengingatkan kita akan dalamnya akar kesejarahan dari prilaku korupsi di bumi Nusantara.

Pendapat ini, sejalan dengan pendapat Dra.Sukartini, sekretaris Pak Hatta, bahwa korupsi telah membudaya. Belakangan oleh kalangan media, dikutip sebagai pendapat Pak Hatta.

Dalam konteks prilaku korupsi, menarik disimak ( kalau tidak salah ), penelitian yang dilakukan oleh  IIP ( Institut Ilmu Pemerintahan ) di awal tahun 1980’an. Sumatra Barat dan Bali adalah dua wilayah yang tingkat korupsinya terendah. Sumatra Barat, korupsinya rendah, karena masyarakatnya punya budaya kritis untuk melakukan koreksi kebijakan dan kontrol sosial.Sedangkan untuk Bali, karena masyarakatnya percaya pada Hukum Karma. Temuan penelitian, yang tetap relevan, bagi kita di Bali terutama bagi elite pengambil kebijakan.

I Gde Sudibya, penulis yang tinggal di Denpasar