Pertemuan tingkat tinggi G20 akan mencapai puncaknya pada 15-16 November 2022 di tengah kesimpangsiuran klaim keberhasilan pemerintah Indonesia memimpin presidensi tahun ini. Forum G20 tahun ini terancam gagal menghasilkan komunike sebagaimana dihasilkan pada tahun-tahun sebelumnya. Komunike sendiri ialah dokumen yang mewakili komitmen bersama para pimpinan ekonomi terbesar dunia tersebut, utamanya mengenai situasi perdamaian dunia hari ini. Sub-Pokja Civic Space patut menyayangkan kegagalan tersebut berikut dengan beberapa catatan penting yang perlu disoroti.

Sebelumnya, C20 sebagai engagement group G20 dengan masyarakat sipil dalam komunikenya telah mengangkat 4 topik utama, yakni: (1) Just and Inclusive Global Health Architecture, (2) Climate Justice and Just Energy Transition, (3) Tax Justice and Inclusive Sustainable Finance, serta (4) Inclusive Digital Transformation. Aspek kesetaraan gender, pelindungan bagi kelompok disabilitas, isu humanitarian, anti-korupsi, dan ruang sipil (civic space) menjadi lintas isu sebagai prasyarat kondisi untuk mewujudkan topik-topik tersebut di atas. Diadopsinya gagasan mengenai perlindungan dan perluasan ruang sipil merupakan langkah monumental, mengingat baru di bawah presidensi tahun inilah isu tersebut pertama kali diangkat menjadi bagian dari struktur kelompok kerja C20. Meski demikian, bukan berarti isu civic space dalam presidensi Indonesia di G20 ini tidak memiliki tantangannya tersendiri.

Pertama adalah memastikan keberlanjutan isu civic space dalam presidensi berikutnya di India, Brazil, dan selanjutnya di Afrika Selatan dalam struktur C20.

Rekam jejak kondisi ruang sipil negara-negara G20 memang bervariasi, namun sebagian besar mengindikasikan adanya sejumlah persoalan kebebasan sipil di level domestik. Berdasarkan survei CIVICUS (2021), hanya Jerman dan Kanada yang dikategorikan memiliki ruang sipil yang terbuka. The Economist Intelligence Unit (2022) menyebutkan bahwa 46% dari populasi global hidup di negara dengan demokrasi yang problematik; dengan angka nilai demokrasi dunia turun dari 5,37 tahun 2020 menjadi 5,28 di tahun 2021.

Inisiatif masyarakat sipil Indonesia dengan latar ruang sipil yang penuh tantangan namun berhasil melahirkan Sub-Pokja Civic Space, memberi pesan penting kepada India, Brasil, dan Afrika Selatan sebagai suksesor G20 berikutnya bahwa C20, sebagai penyambung aspirasi masyarakat sipil global, harus mempunyai sikap independen dan berani mengambil inisiatif tanpa perlu menunggu atau menginduk pada kemauan politik pemerintah dalam agenda prioritas G20. Isu-isu penting seperti kebebasan sipil, disabilitas, gender perlu diberi porsi afirmatif sehingga intervensi C20 terhadap G20 dapat terus menjejak ke depan, alih-alih memposisikan diri sepenuhnya sebagai stempel kebijakan pemerintah.

Sentimen publik terhadap G20 bisa dipahami mengingat berbagai kendala dan tantangan yang selama ini terjadi menghambat partisipasi masyarakat secara bermakna. Kendati demikian, bukan berarti upaya memastikan keberlanjutan civic space sebagai kelompok kerja tersendiri tidak dibutuhkan. Upaya pembukaan kanal baru bagi kelompok masyarakat sipil tiap presidensi C20 untuk tetap konsisten menagih komitmen serta mengukur realisasi G20 untuk isu perluasan ruang sipil tetap perlu dilakukan, terutama dengan pertimbangan lebih dari separuh populasi dunia berada di negara-negara G20.

Lebih jauh, inisiatif yang dirintis Sub-Pokja Civic Space juga didukung oleh puluhan ribu masyarakat dari seluruh penjuru dunia. Global Citizen, salah satu organisasi mitra Sub-Pokja Civic Space yang berkantor pusat di New York, berhasil menghimpun lebih dari 37,8 ribu petisi berisi desakan agar isu kebebasan sipil senantiasa diprioritaskan dengan mendorong pembentukan working group civic space. Selain petisi, pada platform Twitter, hampir tujuh ribu cuitan telah disuarakan warga dunia dengan tuntutan agar G20 memprioritaskan ruang sipil yang bebas dan terbuka. Patut kita catat juga bahwa C7, sebagai mitra negara-negara G7, dalam komunikenya juga memberi desakan untuk membentuk working group sendiri untuk isu civic space dalam lingkup G7.

Kedua adalah untuk menjamin kemandirian C20 sebagai mitra pemerintah pemangku presidensi G20. Elemen kemandirian ini merupakan syarat utama karena posisi C20 bukan sebagai dekorasi pendukung berjalannya agenda-agenda pembangunan dari elemen masyarakat sipil, melainkan sebagai penghimpun peer pressure guna mengontrol langsung kinerja dan komitmen para pemimpin dunia dalam forum multilateral tersebut. Elemen kemandirian ini menjadi esensial untuk membedakan kerja yang dilakukan C20 versus G20. Kemandirian, baik secara teknis maupun substansial, yang sudah dilakukan C20 Indonesia adalah preseden praktik terbaik yang sudah dirintis sejak C20 pertama kali di Korea Selatan, dalam kapasitasnya sebagai ahli, penagih komitmen pemerintah, penerjemah pelbagai isu kompleks lewat bahasa sederhana, penyeimbang, dan mitra kolaborasi.

 

Ketiga adalah memastikan konsistensi antara pernyataan dan perbuatan dari negara pemangku presidensi G20. Selama Indonesia memangku perhelatan G20 tahun ini, terdapat peristiwa-peristiwa yang merefleksikan bahwa pesan perlindungan ruang sipil masih sulit diterjemahkan di lapangan. Menjelang KTT, tercatat beberapa pelanggaran ruang sipil yang dialami aktivis dan aktor masyarakat sipil lainnya, mulai dari pelarangan penyelenggaraan kegiatan kampanye untuk iklim hingga aksi persekusi oleh pihak yang diduga aparat kepolisian terhadap kegiatan konsolidasi masyarakat sipil di Bali. Pemerintah Indonesia juga kembali menyalahgunakan kebijakan restriksi mobilitas yang dibuat semasa darurat pandemi lalu untuk membatasi ruang gerak masyarakat dengan alasan menjaga kondusifitas acara G20. Peristiwa-peristiwa ini terjadi saat Indonesia memangku presidensi G20 dan menunjukkan masih absennya kehendak pemerintah untuk menerjemahkan makna sesungguhnya dari peningkatan kesejahteraan yang menjadi tujuan G20, dengan pengakuan akan pentingnya perlindungan kebebasan sipil yang merupakan elemen utama negara demokrasi. Sepanjang hak-hak sipil tidak diberi perlakuan dan pengakuan yang setara oleh pemerintah layaknya isu prioritas lainnya, wacana pemulihan ekonomi global yang diangkat forum G20 2022 hanya akan dikenang sebagai jargon elitis yang nihil akan gagasan keberlanjutan serta keberpihakan pada hak asasi manusia.

Berdasarkan catatan di atas, Sub-Pokja Civic Space C20 Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mengecam keras tindakan pengamanan berlebihan aparat kepolisian Indonesia terhadap masyarakat sipil berikut kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat untuk menyukseskan puncak acara G20.
  2. Mendesak presidensi G20 dan C20 berikutnya di India untuk memastikan keberlanjutan status working group civic space sebagai perwujudan kebijakan afirmatif dalam merespons kualitas ruang sipil global yang semakin menyusut dari waktu ke waktu;
  3. Mendesak kemandirian sikap C20 dalam menjalankan perannya sebagai mitra G20 pada presidensi berikutnya, serta menekankan pentingnya koordinasi berkelanjutan guna mensinergikan inisiatif perlindungan dan perluasan civic space antara C20 dengan C7; dan
  4. Menuntut konsistensi perlindungan dan perluasan ruang masyarakat sipil bagi negara-negara anggota G20 dalam menjalankan kebijakan karena salah satu peran C20 adalah melakukan monitoring dan evaluasi atas komitmen-komitmen yang telah dibangun bersama;