Pemetaan partisipatif yang saat ini banyak dilakukan oleh komunitas adat di berbagai belahan nusantara sebagai upaya penghormatan kembali bentuk-bentuk kearifan dan budaya lokal, ternyata sudah dilakukan oleh Leluhur orang Bali sejak jaman dahulu kala. Hasil pemetaan partisipatif tersebut diyakini mampu menjelaskan dan memandu warga adat setempat yang selaras alam dalam berbagai aspek seperti; Geografis, sosial, ekonomi, lingkungan, darat, laut dan seterusnya. Di Bali hingga kini, Peta tersebut masih digunakan dan dan diyakini. Seperti apa?

Perubahan dan dinamika kehidupan orang Bali di jamannya, ternyata selalu melakukan pemetaan. Peta-peta itu pun terus diyakini dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan hidup dan kehidupan. Jika disimak lebih jauh, Peta orang Bali ternyata terdiri dari dua yaitu : Peta Nyata (Skala) dan Peta Maya (niskala/peta spiritual). Kedua peta tersebut dibuat berdasarkan tuntunan niskala (Tuhan Yang Maha Esa).

Peta Nyata adalah Peta yang secara riil dapat dilihat dengan mata telanjang. Umumnya menggunakan batas-batas alam seperti sungai, gunung, laut, bukit, pohon dan bentuk-bentuk permukaan alam lainnya. Dengan kemajuan teknologi Peta Nyata ini bisa digambarkan ke dalam bentuk gambar/grafis ke dalam buku atau Komputer.

Sedangkan Peta Maya (peta spiritual), berupa Peta yang hanya bisa digambarkan dalam bentuk keyakinan dan spiritual, rasa dan perasaan, bijak dan kebijaksanaan dan tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Namun demikian Peta Maya justru lebih diyakini dan “ditakuti” untuk dirubah sebarangan, bukan karena tidak diijinkan, tapi karena sudah merupakan kebenaran.

Kombinasi Peta Nyata dan Peta Maya, hingga kini mempengaruhi pola pikir dan pola hidup Mayarakat adat/orang Bali dalam pengelolaan dan pemanfatan ruang (tata ruang). Gabungan pemaknaan kedua peta tesebut merangkum secara keseluruhan dan selaras, antara Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) demi sebuah keseimbangan yang universal.

Dengan keberadan peta-peta itulah masyarakat adat di Bali memperoleh “Tuntunan” lahir dan Batin. Karena dalam peta-peta tersebut sudah mencakup keseluruhan, yang jika digolongkan secara garis besar menjadi tiga bagian yang memuat tentang aturan dan kewenangan dalam menjalani hidup yang meliputi; “Kelahiran, Kehidupan dan Kematian”. Jika dijabarkan lebih jauh dalam aktivitas dan kewajiban adat (yadnya), maka ketiga hakekat dasar kehidupan itulah yang sesungguhnya menghubungkan dan mendekatkan manusia dengan sesamanya, manusia dengan lingkungannya, dan manusia dengan Tuhannya (Tri Hita Karana). Dalam realitanya : Pertama; Manusia lahir pasti dari manusia, laki (purusa) dan perempuan (Pradana). Kedua ; Manusia hidup pasti bersama alam dan lingkungannya . Ketiga; Orang mati, pasti menuju hubungan dan penyatuan ke Tuhannya. Lebih jauh hal ini di terjemahkan dalam “konsepsi” Rerainan, Paweton dan Wariga (Rta/Hukum Alam).

Dalam pemahaman lainnya; Peta Maya dan Peta Nyata merupakan aturan main (hukum) yang didalamnya dijelaskan status, kedudukan, tujuan, hak dan kewajiban, boleh dan tidak boleh, kewenangan, dan sanksi hidup dan kehidupan. Semua yang tersurat maupun tersirat dalam Peta Nyata dan Peta Maya kemudian disebut dengan “Sastra”. Sastra memuat Data (Angka, ukuran, berat, satuan, dll), Daya (potensi, kekuatan, tekad, keyakinan, arah, dll) dan Bahasa (bentuk-bentuk komunikasi dan alat komunikasi, informasi, dll). Penggabungan ketiganya akhirnya melahirkan budaya bentuk, budaya gerak, budaya bahasa dan budaya rasa. Jadi ‘Sastra” dalam pengertian ini sesungguhnya dalah adalah rangkuman sifat-sifat alam semesta raya.

Oleh sebab itulah hingga kini, masih dengan mudah kita mendengar para Tetua-Tetua Adat/Agama (Penghulu/Hulu) di Bali menyebut atau mengatakan, aktivitas atau perubahan apapun yang dilakukan oleh masusia Bali harus mengacu pada “Sastra”, yang pada hakekatnya dalah Peta Maya dan Peta Nyata tersebut. Melanggar Sastra sama saja melangar sifat dan kehendak alam. Alam tentu punya mekanisme sendiri untuk menyelaraskannya.

Contoh lain dalam pemanfaatan atau menataan ruang misalnya, manusia Bali harus memahami terlebih dahulu “format dasar alam setempat (Sikut)”. Dalam Sikut dijelaskan, mana hulu (luan), mana hilir (teben), mana timur, mana barat, mana utara, mana selatan, mana atas, mana bawah, mana boleh, mana tidak boleh dan seterusnya. Tanpa memahami “Sikut” sama saja tidak memahami keadaan. Tidak memahami keadaan sama saja tidak memahami posisi dan fungsi. Dalam konteks diri manusia (di Bali), diyakini manusia yang tidak memahami “sikut” sama saja dengan manusia yang tidak memahami hakekat diri alias “lupa diri”. Untuk bisa memahami “Sikut” maka kita terlebih dahulu harus memahami Sastra dengan sungguh yang sesungguhnya, dengan benar dan sebenar-benarnya.

 

BATAS DESA DAN WILAYAH ADAT

Di Bali batas desa atau wilayah adat banyak menggunakan lembah, bukit, hutan, sungai, laut, dll. Misalnya, dalam Peta Nyata sungai sangat mudah dilihat, bahkan sangat mudah “dikordinatkan”. Apalagi dengan alat cangih GPS. Jika memakai keyakinan dan pemahaman Peta Maya, maka daerah aliran sungai (DAS) sesunguhnya adalah kawasan public, kawasan resapan air hujan, kawasan penyangga, kawasan hidup banyak species, kawasan dengan pemandangan yang indah, kawasan yang penuh damai dan sejuk, kawasan yang menggugah rasa, kawasan beragam nilai, kawasan alamiah, dan seterusnya. Kesemuanya adalah ciptaan Tuhan (Bhineka Tunggal Ika-Beragam namum tetap satu dari ciptaan-Nya).

Lalu bagaimana batas-batas desa/wilayah adat di kawasan padat perumahan penduduk dan perkotaan? Bisa jadi secara Peta Nyata, batas desa adat hanya berupa patok atau tembok. Tapi secara Peta Maya, batas desa adat di perkotaan tetap saja merupakan “rangkuman” dari banyak faktor seperti yang disebut diatas yaitu; penuh dengan keragaman unsur dan nilai yang menyatu dalam patok atau tembok tapal batas tadi. Walaupun pisiknya hanya berupa patok atau tembok, jika itu batas kawasan/wilayah adat, maka tidak boleh sembarangan diganggu, digusur apalagi “dirampas” untuk kepentingan pribadi. Melanggarnya adalah awal petaka yang sering terbukti dikemudian hari, di nikmati oleh anak dan cucunya.

Dalam hal pemanfataan kawasan dan wilayah adat (hak kelola adat), manusia/masyarakat Bali jaman dahulu, memulainya dari proses tahapan belajar bersama alam. Karena belajar, tentu harus ada Guru (hulu), harus ada murid (Manusia/Warga Adat), harus ada Kurikulum (mata pelajaran), dan harus ada proses pembelajaran. Tujuan belajar adalah untuk memperoleh pencerahan, pengetahuan, kesadaran, keiklasan dan keyakinan hidup. Sehingga semua tindakan dalam hidup dan kehidupan menjadi benar yang sebenar-benarnya, menjadi sungguh yang sesungguhnya, tentu atas restu dan seijin alam (Tuhan/Ketuhanan).

Jaman dulu manusia Bali menyadari, pentingnya belajar dan hidup bersama alam. Jadi belajar dan mata pelajaran harus diperoleh dari dan bersama guru (hulu) dalam alam itu sendiri. Dalam proses belajar pun, supaya tidak bingung, harus merujuk pada kesadaran akan Peta Maya dan Peta Nyata di atas. Misalnya, suatu ketika manusia Bali belajar dari air. Air adalah kebutuhan dasar hidup. Namun “dari mana”, “dimana” dan “kemana” air mengalir, juga merupakan pelajaran alam yang sangat menarik. Manusia Bali terus mencoba mempelajari ilmu air yang setinggi-tingginya. Untuk mendapatkan pengetahuan yang tertinggi dari air; maka belajarnya pun harus bersama guru (hulu) yang tertinggi pula.

Kemudian, manusia Bali menelusuri “dari mana” air mengalir, dan akhirnya diketahuilah “dimana” air mulai mengalir, dan diketahui pula “kemana air” akan dan bisa mengalir. Berdasarkan pengetahuan ini maka diyakini, air adalah peta jalan menuju “penatan ruang/tata ruang” hidup berikutnya di Bali. Gunung adalah tempat tertinggi mulainya air mengalir, dan laut adalah tempat terakhir kemana air akan mengalir. Dalam pengetahuan alam tentang air, maka manusia Bali hingga saat ini sangat menghormati Gunung sebagai guru tertinggi (hulu air) sebagai sumber inspirasi atau gagasan. Dan laut adalah tempat terakhir air mengalir, menuju penyatuan atau peleburan dengan alam semesta. Masyarakat adat Bali menyebutnya Nyegara – Gunung.

Jaman dulu air yang mengalir dari gunung hingga ke laut sangat bersih, dan layak minum. Manusia Bali mempelajarinya. Manusia Bali memahaminya. Dan hingga kini pun aktivitas dan kewajiban adat Bali sangat lekat dan dekat dengan prinsip-prinsip perlindungan dan penghormatan air dan sumber air, sebagai kebutuhan dasar hidup, sekaligus sebagai Peta Maya dan Peta Nyata dalam memberikan tuntunan hidup.  Hal ini dengan mudah kita lihat dalam aktivitas dan spirit Subak di Bali.

Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh kearifan lokal Bali. Alam Bali telah menyediakan semua “keragaman” dan “keseragaman” pengetahuan. Bahkan saat ini semuanya sudah terangkum utuh menjadi perpustakaan global dalam “Peta Maya” dan “Peta Nyata”, yang jika diyakini dan dipahami kembali, sesungguhnya merupakan PETA JALAN KEBHINEKAAN menuju satu kesatuan kejayaan dan penghormatan Masyarakat Adat Nusantara (*MN).

Made Nurbawa

Pemerhati Sosial

Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bali.