Wayang Sapuh Leger

Denpasar (Metrobali.com)-

Pertunjukkan wayang kulit di Bali umumnya untuk mengiringi kegiatan ritual berskala besar di tempat suci keluarga maupun pura, senantiasa menarik perhatian wisatawan mancanegara yang sedang menikmati liburan di Pulau Dewata.

“Pelancong tidak sekedar menyaksikan, namun ingin mengetahui lakon yang dituturkan secara rinci,” kata Pengamat dan pelaku seni budaya Bali, Kadek Suartaya, SS Kar, MSi di Denpasar, Sabtu (16/5).

Ia mengatakan, pementasan wayang kulit Bali kini sudah biasa dilakukan di Amerika Serikat, setelah Maria (60) dari Kalifornia melakoni hal tersebut.

“Maria, seorang praktisi teater terampil mementaskan wayang kulit Bali, setelah cukup lama belajar mendalang pada I Wayan Nartha (73) di Sukawati, Gianyar mengungkapkan wayang Bali adalah sebuah teater terindah di dunia,” katanya.

Pementasan wayang kulit di Bali dan Jawa pernah menjadi bagian dari totalitas kehidupan masyarakat. Kharisma seni pertunjukan tua ini bukan hanya dinikmati sebagai presentasi estetis, namun diserap sebagai tuntunan dan falsafah hidup.

Suartaya menambahkan, dalam perkembangannya seni pedalangan di Bali belakangan ini tampaknya cenderung sebatas seni tontonan, karena masyarakat penonton agaknya tak suka “dikuliahi” dengan berbagai tuntunan moral dan budi pekerti.

Masyarakat penonton hanya ingin hiburan, Cerita tak soal. Tokoh-tokohnya juga tak penting. Karena itu, hanya dalang yang mampu membuat penonton terbahak saja yang lebih memiliki peluang untuk eksis.

Sebaliknya dalang-dalang yang pentas secara  serius dan  menggurui, apalagi miskin humor, cenderung kurang diapresiasi penonton.

Padahal tahun 1970-an, pementasan wayang kulit masih mengundang takjub. Saat itu, sebuah rencana pagelaran teater wayang merupakan kabar yang menggembirakan yang pementasannya ditunggu-tunggu khalayak banyak.

Para penonton menyaksikan dengan penuh perhatian seluruh proses dan detail pementasan, baik yang disajikan dalam konteks ritual keagamaan maupun pertunjukkan wayang dalam ajang profan.

“Bagaimana aksi dalang di balik layar dalam meragakan boneka pipih dua dimensi itu tak luput dari perhatian penonton. Bagaimana asyiknya penonton menyimak adegan demi adegan sepanjang 3-4 jam dan kemudian mendiskusikan seusai pementasan,” katanya.

Hal itu menunjukan begitu karismatiknya kesenian yang diduga sudah mempesona penonton pada zaman Airlangga, abad ke-11 itu.

Namun pesona wayang kulit Bali terasa mulai redup ketika industri budaya global seperti film, video, dan media televisi merambah seluruh ruang, ujar Kadek Suartaya. AN-MB