Foto: Kerama Desa Adat Bugbug I Nengah Yasa Adi Susanto yang akrab disapa Jro Ong.

Karangasem (Metrobali.com)-

Salah satu tokoh dan Kerama Desa Adat Bugbug I Nengah Yasa Adi Susanto yang akrab disapa Jro Ong menegaskan proses pembangunan Villa di Bukit Enjung Awit (bukan Bukit Gumang) di Desa Bugbug, Kabupaten Karangasem tersebut sudah sesuai dengan mekanisme dan awig-awig yang berlaku di desa adat kami. “Sebelum ditandatangani kontrak, Prajuru telah melakukan sejumlah tahapan,” kata Adi Susanto dalam keterangan tertulisnya yang dikirim ke redaksi Metro Bali, Kamis (16/3/2023).

Lebih lanjut Adi Susanto menjelaskan, pertama telah dilakukan sosialisasi ke 12 Banjar Adat yang ada di Desa Bugbug dan kepada masyarakat Bugbug yang ada diperantauan termasuk di Klungkung, Denpasar, Singaraja, Jakarta, Surabaya dan Lombok. Tidak ada aspirasi penolakan dari Kerama yang hadir saat sosialisasi tersebut. Pihak-pihak yang saat ini menolak pembangunan tersebut sebagian besar juga ikut hadir dan hanya pentolan2nya saja tdk mau datang dan mendengar penjelasan dari Prajuru.

“Pada saat sosialisasi masyarakat menyetujui untuk menyewakan tanah desa tersebut yang memang tidak produktif untuk dijadikan Villas oleh Investor dengan pertimbangan bisa meningkatkan PAD di desa dan meningkatkan taraf hidup masyarakat kedepannya,” terang Adi Susanto.

 

Luas tanah yang disewakan adalah 2 hektar selama 20 tahu dari luas sekitar 23 hektar keseluruhan dan telah bersertifikat atas nama Pelaba Pura milik Desa Adat Bugbug. Di areal yang sama juga sebelumnya telah dibangun Villa yang tanahnya menjadi satu kesatuan dengan Villa yang dibangun sekarang. Villa yang dibangun bersebelahan dengan Villa yang dibangun sekarang tanahnya menjadi satu sertifikat dengan yang dikontrakan dan Villa tersebut dikontrakan pada jaman Kelian Desa Adat sebelumnya I Wayan Mas Suyasa.

Area Villa yang dibangun sebelumnya dan sekarang ini lokasinya sangat jauh dari Pura Gumang sekitar lebih dari 2 kilo meter jadi tidak benar bila Villa dibangun di kawasan Bukit Gumang karena nama bukit tersebut adalah Bukit Enjung Awit dan bukan Bukit Gumang.

“Saya salah satu tim mewakili Desa Adat Bugbug ikut menggodok perjanjian sewa menyewa tersebut dan memasukan beberapa klausul untuk kepentingan masyarakat banyak yakni: Investor wajib mempekerjakan tenaga lokal dari Desa Adat Bugbug minimal 75% dari keseluruhan tenaga kerja yang akan bekerja disana, mewajibkan Investor melalui Pihak Ketiga untuk memberikan pelatihan bahasa Inggris dan pelatihan berbasiskan kompetensi kpd mereka yang belum punya skill atau kemampuan bekerja disana,” beber Adi Susanto.

Lebih lanjut diterangkan bahwa, proses dari awal sampai penerimaan uang sewa dijalankan sangat transfaran dan tidak ada panitia khusus yang dibentuk karena panitianya adalah seluruh Prajuru Dulun Desa dan semua uang sewa yang telah dibayarkan masuk ke rekening milik Desa Adat Bugbug.

“Selama proses sosialisasi, penandatangan kontrak dengan investor sampai mulainya pembangunan tahap awal tidak pernah sekalipun ada penolakan dari masyarakat Bugbug karena hampir semua masyarakat mendukung investasi pembangunan villa ini karena sebagian besar masyarakat kami menggantungkan hidupnya dari pariwisata,” ungkap Adi Susanto.

Menurut Adi Susanto, Prajuru di era kepemimpinan Kelian Desa Adat Bugbug Jero Nyoman Purwa Arsana saat ini yang mulai menjabat sejak akhir tahun 2020 sangat gencar melakukan pembangunan dan memperbaiki tata kelola desa pasca kepemimpinan I Wayan Mas Suyasa yang telah menjabat selama hampir 30 tahun.

“Sebagai masyarakat Bugbug kami sangat menghormati, mencintai dan mensakralkan keberadaan Pura Gumang dan bahkan karena kecintaan kami, Prajuru baru telah melakukan renovasi dan penataan sangat masif dengan memperbaiki pelinggih, menata pura hinga kelihatan lebih agung dan bagus seperti sekarang ini. Kami Prajuru baru juga telah melakukan proses upacara ngenteg linggih setahun yang lalu karena menurut cerita tetua kami di Bugbug belum pernah desa adat melakukan upacara Ngenteg Linggih di Pura Gumang ini,” papar Adi Susanto.

Menurutnya kelompok yang kontra terhadap segala pembangunan yang saat ini sangat masif dilakukan oleh Prajuru baru baik pembangunan Pawongan, Palemahan maupun Parahyangan sama sekali mereka tidak pernah menggunakan haknya selalu Kerama maupun selaku masyarakat karena mereka tidak pernah membuat laporan ke Kertadesa terkait dengan dugaan penyimpangan yang mereka terus hembuskan juga tidak pernah melalukan upaya hukum positif baik hukum perdata maupun pidana.

Semestinya selaku Kerama, kata Adi Susanto, mereka seharusnya bisa melakukan upaya hukum adat melalui Kertadesa bila memang diduga ada pelanggaran Awig-awig terkait segala pembangunan yang dilakukan saat ini dan juga bila mereka memandang ada pelanggaran hukum baik perdata maupun pidana seharusnya mereka menempuh upaya hukum tersebut. Namun faktanya kelompok ini hanya melakukan upaya provokasi kepada masyarakat yang sebelumnya tidak pernah menolak kedatangan Investor yang membangun Villa di Bukit Enjung Awit.

“Demikian penjelasan saya terkait masifnya pemberitaan pembangunan Villa yang seolah-olah berada di Bukit Gumang yang sebenarnya lokasinya ada di Bukit Enjung Awit persis diatasnya Hotel Puri Bagus Candidasa. Jadi kawasan itu memang kawasan pariwisata dan jauh dari Bukit Gumang. Jadi stop memprovokasi Kerama dan memutarbalikkan fakta,” tutup Adi Susanto. (wid)