Oleh : Pandita Mpu Jaya Prema

Pandita Mpu Jaya Prema

 

Hari Sabtu (22/2) yang lalu, ada dua peristiwa penting yang patut diapresiasi. Keduanya soal patung atau setidaknya berkaitan dengan patung yang sakral sekaligus monumental. Yang pertama, pagi hari, di tempat Gubernur Bali melaksanakan simakrama dengan masyarakat. Di sana maestro pelukis Nyoman Gunarsa mengusulkan agar Bali “dikunci” dengan patung Dewata Nawa Sanga untuk menjaga kesuciannya. Yang kedua, sore hari, di lokasi bekas patung Wisnu Murti di catuspata (perempatan) Kediri, Tabanan. Masyarakat sembahyang meminta kerahayuan akibat dirobohkannya patung Wisnu Murti.

Apa yang dilakukan masyarakat Kediri ini menarik sekali. Warga yang diwakili berbagai banjar adat itu berkumpul dulu di Pura Puseh. Selesai sembahyang di sana, mereka berjalan kaki menuju lokasi bekas patung Wisnu Murti yang kini sudah berdiri bantaran minimalis yang akan dipajang patung Bung Karno. Mereka tidak membawa poster, mereka pun tidak meneriakkan pernyataan setuju atau tidak setuju dengan pendirian patung Bung Karno. Mereka tidak larut dalam pro dan kontra. Mereka sama sekali “tidak berpolitik”. Warga desa ini hanya melakukan persembahyangan.

Lalu, apa yang didoakan? Mereka berdoa supaya kerahayuan yang datang, termasuk rahayu bagi mereka yang merobohkan patung itu. Warga adat ini menyerahkan urusannya pada dunia niskala. Ini adalah sikap netral kalau dilihat secara sederhana. Namun maknanya luar biasa dalam. Masyarakat pasti merasakan atau menduga akan ada dampak negatif dari perobohan patung Wisnu Murti itu, karena itulah mereka berdoa.

Sudah berbulan-bulan terjadi pro dan kontra di sana, bahkan bantaran (dasar) patung Bung Karno itu kini dipenuhi spanduk yang mendukung patung Bung Karno. Ada aksi dari LSM di Tabanan yang mendukung dan memasang spanduk itu, dan orang tahu siapa di baliknya. PHDI Bali sudah menyayangkan pendirian patung Bung Karno yang membongkar patung Wisnu Murti. PHDI Tabanan dan pemuka agama, “koh ngomong” dan tidak bersikap. Seharusnya Pemda Tabanan tahu apa makna dari sikap ini.

Persembahyangan Sabtu yang lalu semakin jelas apa yang “tidak tersirat” ketika tokoh yang memimpin persembahyangan itu menyebutkan: “semoga pengambil kebijakan di Tabanan berpikir jernih”. Apakah imbauan “berpikir jenih” ini akan dilaksanakan?

Saya sependapat dengan masyarakat Kediri. Sepakat bahwa hal ini tak usah dijadikan ribut-ribut dengan aksi demo yang hanya membuat macet dan menakutkan masyarakat sekitar. Serahkan secara niskala, baik buruk akan diterima secara niskala. Saya yakin karena patung Bung Karno ini sarat “muatan politis” maka jika jadi dipasang umurnya tak akan lama. Setelah bupati berganti, patung Bung Karno itu pasti dipindahkan ke tempat yang lebih sesuai, misalnya, di Taman Kota atau di halaman Gedung Mario. Ini tempat yang baik untuk memuliakan pahlawan bangsa, sementara di catuspata tempat baik untuk memuja kebesaran Tuhan dengan berbagai manifestasinya. Masyarakat yang berpikir jernih pasti akan mendapatkan kesucian dan mereka yang berpikir “kurang jernih” akan menerima pahala juga. Yang penting masyarakat Kediri dalam keadaan rahayu sebagaimana permohonan dalam persembahyangan itu.

Berita kedua, usul Nyoman Gunarsa untuk “mengunci” Bali dengan Dewata Nawa Sanga juga saya apresiasi. Saya sepakat seratus persen. Apalagi ide menempatkan empat patung dewa di empat penjuru angin (timur, selatan, barat dan laut) semuanya berada di pinggir pantai yang dijadikan pintu gerbang masuk ke Bali. Kecuali Pelabuhan Buleleng yang kini tak aktif lagi sebagai pintu gerbang, Pelabuhan Padangbai, Benoa dan Gilimanuk adalah pintu gerbang utama. Kesan yang ada selama ini, tak ada simbol apa pun untuk “menyambut tamu” yang datang.

Identitas Bali tak muncul di pintu gerbangnya, termasuk di Bandara Ngurah Rai. Kalau saya pulang dari Jawa, di manakah “ngaturang rarapan” sesampai di Gilimanuk? Paling di Rambut Siwi, itu pun “penyawangan” pinggir jalan. Atau kalau lewat utara di Pura Teluk Terima. Terlalu jauh. Begitu pula kalau pergi ke Jawa, untuk “mepamit” meninggalkan Bali juga di Rambut Siwi atau Teluk Terima. Penyeberangan masih jauh.

Seperti yang diusulkan  Nyoman Gunarsa, empat dewa ini prioritas utama, sebelum komplit menjadi sembilan atau sanga. Tentu di masa depan ke sembilan dewa itu harus komplit sehingga benar-benar Bali “dikunci” oleh Dewata Nawa Sanga.

Tanggapan Gubernur Mangku Pastika yang setuju ide ini namun harus dikaji lebih jauh dengan mengadakan seminar atau work shop juga penting. Pendapat tokoh agama dan para pendeta Hindu harus diminta. Karena kaitannya adalah selama ini Dewata Nawa Sanga itu sudah dipuja di berbagai pura besar, meski pun secara “duniawi” letaknya tak persis. Seperti diketahui, letak Dewata Nawa Sanga itu adalah Iswara (timur) di Pura Lempuyang, Maheswara (tenggara) di Pura Goa Lawah, Brahma (selatan) di Pura Andakasa, Rudra (barat daya) di Pura Uluwatu, Mahadewa (barat) di Pura Luhur Batukaru, Sangkara (barat laut) di Pura Puncak Mangu, Wisnu (utara) di Pura Ulundanu Batur, Sambu (timur laut) di Pura Besakih dan Siwa (tengah) di Pura Pusering Jagat.

Nah, karena pemujaan itu sudah ada di pura yang sudah ditetapkan, maka patung Dewata Nawa Sanga menurut saya lebih sebagai monumen yang pujawalinya terbatas, mirip patung sakral yang ada di catuspata. Artinya, tak perlu ada ngenteg linggih, piodalan besar dan sebagainya. Jadi yang ada hanya patung dewa itu, tak ada pelinggih apapun lagi, seperti umumnya sebuah kahyangan. Monumen itu akan berfungsi sebagai “pelajaran agama” sehingga ornamen masing-masing dewa dilengkapi. Misalnya, senjata para dewa, kendaraan para dewa, warna para dewa, dan sebagainya.

Kajian lebih dalam perlu dimatangkan kalau memang ada niat serius membangun monumen Dewata Nawa Sanga, termasuk di mana monumen itu dibangun. Bali memang perlu “dikunci” atau istilah lain dibentengi. Dharma Adyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa, bahkan sudah melangkah jauh membentengi Indonesia dengan Dewata Nawa Sanga, menunjuk pura besar yang ada sebagai “stana” tempat pemujan itu. Semoga pikiran yang baik dan jernih datang dari banyak orang untuk kerahayuan bersama. (**)