Golkar bendera

Jakara (Metrobali.com)-

Kemeriahan dan keceriaan seluruh hadirin pada peingatan 50 tahun Partai Golkar di Kemayoran, Jakarta Pusat, 20 Oktober 2014, masih terpatri diingatan publik.

Namun, kini masyarakat melihat soliditas dan solidaritas itu berubah menjadi perseteruan politik yang tidak bisa ditutup-tutupi dan ditahan-tahan lagi.

Publik sedang melihat pertikaian di Partai Golkar sedang memasuki babak puncak. Pertikaian yang entah kapan akan berakhir itu bermula dari sikap politik partai sejak Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI, 9 Juli 2014.

Saat itu, secara tegas Partai Golkar yang dipimpin Ketua Umum Aburizal Bakrie mendukung Koalisi Merah Putih (KMP) yang mencalonkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Namun, sebagian kader dan tokoh diam-diam mendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang menjagokan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Kekalahan Golkar pada pemilu anggota legislatif, 9 April 2014, dan Pilpres RI, 9 Juli 2014, memicu terjadinya ketegangan. Desakan-desakan diselenggarakan reposisi kepengurusan mulai muncul dan bersahut-sahutan antarpengurus. Muaranya pada rapimnas pekan lalu di Yogyakarta.

Kekisruhan memasuki babak baru ketika rapat pleno memutuskan Munas Partai Golkar diselenggarakan pada tanggal 30 November–3 Desember 2014 di Bali. Hal itu memicu penolakan sejumlah pihak terhadap keputusan tersebut.

Keputusan tersebut dinilai sepihak oleh sejumlah politikus Partai Golkar. Para pihak yang tidak bersepakat, dimotori Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono kemudian membuat Presidium Penyelamat Partai Golkar. Presidium menginginkan munas diselenggarakan pada bulan Januari 2015.

Sementara itu, kubu Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) beserta Sekjen Idrus Marham mendukung keputusan tersebut dan menegaskan akan tetap menyelenggarakan munas di Bali. Tarik-menarik kepentingan dan kekuasaan sedang terjadi, bahkan memicu bentrokan antarkader di DPP Golkar Slipi Jakarta Barat, pekan lalu.

Publik melihat dan mencermati Partai Golkar saat ini seolah terbelah antara kubu Agung Laksono dengan kubu Aburizal Bakrie. Golkar sedang limbung diterpa ombak tsunami yang menghantam perahu dengan dua nakhoda.

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung bertindak turun tangan dan menjadi penengah di antara dua kubu. “Pertemuan saya sebelumnya dengan Aburizal Bakrie (Jumat petang), saya katakan ada tanda-tanda atau titik terang untuk mencapai kesepakatan islah atau damai,” kata Akbar Tandjung seusai melakukan rapat tertutup dengan kubu Agung Laksono di Kantor DPP Partai Golkar di Jakarta, Jumat (28/11) malam.

Akbar mengatakan bahwa tanda-tanda atau titik terang itu adalah Aburizal Bakrie bersedia untuk melaksanakan Munas IX pada tahun 2015. Namun, di luar bulan Januari atau bulan yang selama ini disepakati kubu Agung Laksono. Persoalan yang tersisa saat ini adalah tinggal menentukan bulan apa yang bisa disepakati kedua kubu untuk menyelenggarakan Munas IX pada tahun 2015.

Apabila kesepakatan penyelenggaraan Munas 2015 tercapai, Agung Laksono dan kawan-kawan bersedia membubarkan Tim Penyelamat Partai Golkar. Akan tetapi, jika kesepakatan tidak tercapai, Aburizal beserta loyalisnya tetap menyelenggarakan Munas IX pada tanggal 30 November hingga 3 Desember 2014 di Bali, sedangkan kubu Agung Laksono menyelenggarakannya pada bulan Januari 2015.

“Tugas kami (wantim) menjembatani, kalau tidak berhasil, kami tidak dalam posisi melarang. Kami hanya menjembatani dengan harapan ada kesepakatan,” ujar dia.

Terbelah? Apabila upaya mediasi yang dilakukan gagal membuahkan islah, Partai Golkar akan benar-benar pecah dan terbelah. Entah apa dan bagaimana hasil dari upaya memediasi kedua pihak. Kenyataannya munas yang diselenggarakan kubu Ical di Bali mulai berlangsung Minggu (30/11) malam.

Selanjutnya, tunggu saja tanggal mainnya, kubu Agung pun akan menyelenggarakannya pada bulan Januari 2015. Dengan demikian, Partai Golkar akan pecah dan terbelah dengan kepengurusan kembar.

Inilah ujian baru dan paling berat yang sedang dihadapi Golkar. Sebelum ujian ini, Partai Golkar sudah kenyang dengan masa-masa sulit. Pengurus dan tokoh-tokohnya pernah bersebarangan. Namun, tidak pernah memiliki kepenguusan ganda.

Yang pernah ada adalah pengurus ormas pendiri Golkar yang terpecah dan terbelah menjadi dua. Soksi pernah dua kepengurusan, MKGR juga pernah pecah, bahkan satu menjadi partai peserta pemilu. Begitu juga Kosgoro masih terpecah, salah satunya Kosgoro 1957 yang dipimpin Agung Laksono.

Sejumlah tokohnya juga pernah hengkang lalu mendirikan partai baru. Sebut saja, ada Partai MKGR dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dibentuk dan dipimpin mantan tokoh Golkar. Begitu juga Partai Hanura dan Nasdem yang didirikan mantan tokoh Golkar. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sebelumnya bernama Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) tidak lepas dari peran penting mantan tokoh Golkar.

Dengan infrastruktur paling memadai dan paling lengkap serta didukung kader yang matang dalam politik telah menempatkan Golkar sebagai sebuah akademi politik untuk mengader calon-calon politikus. Ulang tahun ke-50 Golkar belum lama ini betapa menggambarkan keandalan tokoh-tokoh yang telah dilahirkan meskipun mereka tidak lagi berada di partai itu.

Satu hal yang pasti dari pertikaian yang pernah dialami adalah tidak adanya kepengurusan kembar. Jika kalah dalam persaingan atau perseteruan, pilihan bertahan dan diam atau keluar membuat kekuatan politik baru. Namun, pertikaian dan perseteruan politik berbeda sama sekali dengan sebelumnya.

Kepentingan Kedua kubu di Partai Golkar yang saling “ngotot” memicu syahwat politik yang akan membelah dan memecah. Publik sedang melihat ke mana arah munas di Bali. Kalau arahnya sudah seperti diprediksi bahwa munas akan memilih kembali Ical sebagai ketua umum, tunggu saatnya Agung Laksono akan menyelenggarakan munas lagi pada bulan Januari 2015.

Jika pertikaian itu mencapai titik klimaks dengan kesepakatan islah, Partai Golkar akan selamat dari percecahan. Akan tetapi, tampaknya jalan terang ke arah tanda-tanda islah belum terlihat.

Namun, bukan berarti islah tertutup sama sekali karena politik bisa saja berubah sesuai dengan kepentingannya. Politik adalah kepentingan. Dalam konteks itu, tidak ada teman dan kawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan itu sendiri.

Kepentingan itu pula yang bisa terlihat dari klimaks konflik di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yaitu terselenggaranya muktamar di Surabaya oleh kubu Romahurmuziy dan muktamar di Jakarta yang diselenggarakan Djan Farid. Kini, keduanya mengklaim paling berhak dan paling sah memimpin PPP.

Aroma pertarungan KMP dan KIH tampak terasa terkait dengan dualisme Muktamar PPP. Hal yang sama sedang terjadi di Partai Golkar. Oleh karena itu, dengan islah yang tidak terlihat tanda-tandanya sudah bisa diprediksi arah perkembangan Partai Golkar.

Sri Muryono/AntaraGolkar bendera