DALAM dunia seni rupa, khususnya seni lukis, Bali sejak dulu dikenal menjadi sumber inspirasi bagi pelukis di Indonesia, sebagai tempat studi dan menempa diri untuk menjadi pelukis yang memiliki spirit mencipta dan inovasi yang mumpuni.

Pameran senilukis bertajuk “3Super”: prosesi kreatif tiga seniman, Jamil Supriatna, Necky Sodikin dan Bagas Setiawan  digelar di TerasSeni Art Studio, Jalan Nyuh Kuning No.1, Ubud, Bali,  25 Agustus hingga 9 September 2012 mendatang. Pameran yang diselenggarakan dalam suasana HUT Kemerdekaan RI ke-67 ini, merupakan hasil dari kegiatan workshop selama dua bulan yang diselenggarakan i:Ken, artist initiative art space yang mempresentasikan karya seniman yang berproses secara otodidak.

Jamil Supriatna yang sudah mereguk selama hampir tiga dekade berkesenian di Bali dan Bandung, masih nampak tetap namun sekaligus berubah. Jamil Supriatna masih tetap  melukis figur-figur dengan berbagai gambaran kehidupan sehari-hari secara karikatural. Kecenderungan representasi bentuk figur (figur manusia) yang naratif, dengan landasan narasi kehidupan orang biasa. Gagasan tentang cerita  ‘yang biasa’ ini bisa saja kita rujuk dalam atribut dan tanda-tanda gesture figur yang dikerjakannya. Ia membesut figur-figur laki-laki dan perempuan dalam gambaran perisitwa hidup yang biasa, menyangkut soal-soal tentang: pertemuan romantik perempuan dan laki-laki, hubungan ibu dan anak-anaknya, orang bermain musik dengan latar kehidupan di desa.

Jamil menggunakan warna-warna yang kontras agar kita bisa menangkap gagasan narasi kehidupan dan menunjukkan kisah-kisah hidup itu: ada impresi yang saling berkaitan, semacam perasaan haru, sedikit lucu, juga keceriaan. Secara khusus dan khas, lukisan-lukisan Jamil mendukung ihwal impresi tadi dengan kekuatan nuansa warna kontras yang harmonik. Lukisan-lukisannya sama sekali tak hendak mengobral kisah-kisah ‘kekalutan’ atau ‘absurditas’ hidup; namun justru menyelipkan secara ‘canggih’ berbagai makna dari kompleksitas melalui cara penampakkan yang ‘indah’ dan gambaran cerita yang ‘sederhana’.

Sedangkan yang berubah dari Jamil Supriatna, belakangan ini ia banyak mengeksplorasi abstraksi landskap. Selain itu, beberapa tahun ini ia banyak menggarap drawing yang mendedahkan pokok soal pemandangan alam yang dibesut di dalam kanvas alit pada kesempatan workshop.

Sedangkan Necky Sodikin menghela kretivitasnya di jalan yang melingkar. Ia mengalami dan merasakan kebebasan melukis ketika menjelajah pelbagai pokok soal (subject matter) yang dibesut dengan beragam teknik dan langgam. Sedari awal Necky Sodikin berproses tanpa ikatan. Dengan enjoy ia  menghadirkan abstraksi figure, binatang dan landskap di atas taferil tanpa perencanaan yang bulat. Ia hanya mengikuti impuls.

Dalam lukisan-lukisannya hadir berupa imaji-imaji dalam rajutan berbagai layer. Setiap layer terkesan memiliki kebebasan menentukan dirinya sendiri sekaligus juga terbuka untuk berhubungan satu sama lainnya. Kadang layer-layer itu begitu massif, seperti tidak terurai lagi. Seperti sudah menjadi dimensi bagi dirinya sendiri. Pertemuan dimana cahaya menghasilkan momen yang tidak terulang lagi dari pertemuan antara warna dengan warna, antara bentuk dengan bentuk, juga antara warna dengan bentuk itu sendiri.

Rajutan layer seperti itu tidak berkesan naratif, melainkan lebih menjadi kehadiran yang puitis. Bahasa visual Necky seperti ini, pada gilirannya bisa dibaca sebagai karya metaforik yang dilakukan Necky dalam karya-karyanya. Kerja metaforik yang juga tidak terkesan  naratif. Terutama karena lukisan-lukisan Necky hadir sebagai hasil antara representasi dan presentasi.

Bentuk-bentuk yang dihasilkannya mengesankan sebuah kerja representasi, tetapi garis-garis atau torehan yang digunakannya lebih hadir sebagai presentasi. Garis yang tidak lagi patuh melayani bentuk. Garis-garis itu juga hadir sebagai “garis yang bernafas”. Terjadi semacam  “pertemuan bahasa visual” antara tubuhnya dengan alam di sekitarnya. Terjadi semacam internalisasi ruang dalam tubuh visual Necky. Lukisan-lukisan Necky mengajak kita ke relung hening dan kosong, bermeditasi di tengah riuh-rendah benda dan citraan.

Sementara Bagas Setiawan, pelukis belia yang sempat berguru pada pelukis senior Moses Mizdi, berusaha menjelah menghadirkan abstraksi figur-figur dalam latar kehidupan budaya agraris. Ia bersitekun mengolah barik (texture) yang ekspresif yang menjelma pelbagai citra kesan (after image) sesosok binatang seperti  dalam sebuah lukisan “Ratu Lebah”.

Bapak pelukis modern Indonesia, Sudjojono, pernah mengatakan bahwa lukisan adalah “jiwa nampak” si pelukis. Demikianlah, apapun yang tersaji di atas kanvas–alam benda, pemandangan, manusia, bahkan kekosongan–tak lain daripada jiwa pelukis yang menyajikan diri. Garis dan barik, bentuk dan warna di situ bukan hanya cap jari, namun juga rekaman emosi, atau lebih dalam (atau lebih tinggi) lagi, rekaman aspirasi. Pelukis tidak meniru realitas, melainkan menciptakannya lagi berdasarkan getar jiwanya. []

PAMERAN LUKISAN “3SUPER”

Karya Jamil Supriatna, Necky Sodikin dan Bagas Setiawan

Tempat: Teras Seni Art Studio, Ubud, Bali.

25 Agustus hingga 9 September 2012