gula garam

Jakarta (Metrobali.com)-

Ahli gizi Emilia Achmadi mengatakan konsumsi garam dan gula harus diatur sesuai kebutuhan yang sudah ditentukan untuk mencegah penyakit degeneratif.

“Sebenarnya garam dan gula bukan musuh, bukan sama sekali tidak dikonsumsi tapi harus sesuai ketentuan,” kata Emilia pada diskusi edukasi garam dan gula yang digelar PT Unilever Indonesia Tbk di Jakarta, Kamis (4/12).

Emilia mengatakan masyarakat awam menilai garam dan gula adalah musuh yang bisa menyebabkan berbagai macam penyakit seperti jantung koroner, hipertensi dan diabetes melitus.

“Itu tidak benar, penyakit-penyakit itu bukan disebabkan garam dan gula, tapi akibat pola makan yang salah,” kata Emilia.

Penyakit-penyakit tidak menular itu saling berkaitan karena tidak muncul secara tiba-tiba tapi akumulasi dari perilaku hidup dan pola makan yang tidak terkontrol.

“Jadi jangan heran diabetes melitus, jantung, sampai stroke saat ini menyerang usia muda, karen pola makan yang tidak sehat,” tambah dia.

Untuk itu yang harus diperhatikan selain pola makan adalah berat badan karena kelebihan berat badan bisa memicu berbagai penyakit tersebut.

Dia menjelaskan konsumsi garam berdasarkan standar yang dibutuhkan tubuh adalah lima gram atau 2.000 miligram hingga 2.400 miligram atau setara dengan satu sendok teh per hari.

Sedangkan konsumsi gula sesuai standar internasional adalah maksimal 50 gram per hari atau setara dengan 3-5 sendok makan.

“Kita kadang tidak sadar dengan makanan yang kita konsumsi, gula dan garam bukan hanya berasal dari gula dan garam itu sendiri tapi juga dari makanan lain sehingga tanpa sadar kita konsumsi melebihi yang dibutuhkan tubuh,” jelas Emilia.

Namun, gula dan garam juga diperlukan oleh tubuh sehingga sama sekali tidak boleh dihilangkan dari asupan sehari-hari.

Karena 50 persen asupan energi manusia dari karbohidrat yang diproses menjadi gula, sedangkan garam dibutuhkan karena semua fungsi syaraf memerlukan sodium. AN-MB