Jika disimak dan direnungi sari pati kepemimpinan Cri Kesari Warmadewa dan kemudian Cri Aji Jayapangus yang direlasilan dengan Bukit Sinunggal, raja pertama yang membangun Besakih beberapa waktu berselang setelah pemendeman Panca Datu oleh Rsi Markandya dan raja yang melakukan upakara pertama Eka Dasa Rudra di Besakih dan menyimak realitas: phisik alam dan sosial kultural masyarakat Bali, bisa dinyatakan Bali kini berada pada titik-titik waktu SANDYA KALANING BALI – Peradaban Bali di Ufuk Senja – yang bisa mengalami proses deteriosasi, proses penghancuran bertahap menuju titik nadirnya.
Mari kita simak dari beberapa sisi.
Pertama, sistem spiritualisme Besakih, sistem keyakinan Tuhan ” Giri Toh Langkir Mraga Lingga Widhi”. Sekarang pasca proyek Besakih tahun 2022, bentang alam kesucian ring jejer kemiri pura ring sawewengkon Basukian, telah “dirusak”, yang agaknya dilatarbelakangi motif kepentingan ekonomi turistik dan kalkulasi matematika kekuasaan yang menyertainya.
Dalam pendekatan cara berpikir deduktif, kerusakan di hulu (spiritualitas) akan segera berdampak nyata di “hilir” dalam pola prilaku masyarakatnya. Ini kekhasan spiritualitas Bali dan relasinya terhadap pola prilaku masyarakat “pengempon” keyakinan tsb.
Kedua, alam Bali telah mengalami proses pengrusakan berkepanjangan, karena berbagai sebab: industrialisme pariwisata yang kapitalistik, ekonomisme pembangunan dan pengambilan kebijakan publik yang tuna moral dan tuna empati. Peradaban yang mempersyaratkan alam Bali yang lestari sebagai penyangganya.
Ketiga, konversi lahan pertanian berlangsung terus, diperkirakan oleh para pakar pertanian rata-rata 2.000 ha per tahun, setelah10 tahun diperkirakan sistem Subak yang melegenda tsb.akan “ditelan ” bumi akibat industrialisme dan kemudian globalisme.
Masyarakat lokal penyangga kebudayaan Bali semakin kehilangan penguasaan atas tanah leluhurnya, tanah tempat mereka berkebudayaan. Tidak bisa dibayangkan peradaban Bali tanpa hamparan sawah indah menguning, dengan sistem irigasi prima untuk perawatan dan penyelamatan alam, memberikan pasokan energi bersih, dan mengalirkan rasa keindahan yang tak terpanai dan getaran spiritualitas yang tak ternilai dalam hitungan numerik, bagi setiap insan penghuninya dan juga bagi mereka yang datang yang memerlukan jeda kehidupan yang serba benda, dan di bawah sadarnya mengakui peradaban Bali tidak saja khas, tetapi juga “obat” dalam “kekacauan” peradaban yang sedang berlangsung.
Kita bersama sedang menatap ufuk senja peradaban Bali, walaupun di sana sini masih ada wacana dan bahkan rasa bangga akan peradaban fisik Bali yang sudah kehilangan rohnya.
Peradaban fisik tanpa roh, bukanlah Peradaban Bali yang otentik. Perenungan Tilem Kewulu, 20 Februari 2023, satu bulan menjelang Hari Raya Nyepi.

Keempat, muncul fenomena miras berupa Arak, “dibanggakan”, “dirayakan” dalam berbagai pesta perayaan, dapat mengingatkan kita akan rontoknya peradaban di banyak belahan dunia yang dimulai dari kemabukan akan kekuasaan yang kemudian meluas secara sosial. Dalam Itihasa Asta Dasa Parwa yang mengisahkan hancurnya kerajaan Dwarawati, kerajaan yang didirikan Sri Kresna, yang dipicu oleh sikap “mabuk” kekuasaan dari putranya, yang kemudian Dwarawati “ditelan” oleh hukum besi Karma Phala.

Oleh : Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma), forum diskusi intelektual Hindu.