Denpasar (Metrobali.com)-

Menyimak berita Bali politica.com dengan judul: Tak Ada Uang, Sekolah Bali Mandara Dipreteli, Eh Insentif Perangkat Desa Naik.
Berita yang berasal dari RAPBD Bali tahun 2023, peningkatan perangkat desa menjadi Rp.31.44 M, dan Rp.11.448 M untuk insentif kepala desa. Dalam pemberitaan juga termuat: dana Rp.3,5 M untuk pemasangan penjor perhiasan selama KTT G20 disediakan, tetapi dana anggaran Rp.4 M untuk pendanaan sekolah Bali Mandara, yang terbukti mampu mengangkat para lulusannya dari “lumpur” kemiskinan struktural justru dihapus, sehingga sekolah ini dalam spirit untuk menanggulangi kemiskinan menjadi “tutup buku”.
Pernyataan kritis yang menggugah, yang “mengulik” akal sehat dan juga nurani.
Dua setengah tahun Bali mengalami keterpurukan ekonomi akibat pandemi, sudah tentu jumlah orang miskin dan rentan menjadi miskin bertambah. Dari kajian studi pembangunan sudah semestinya pembangunan daerah dan kebijakan fiscal daerah lebih bercirikan dan fokus pada ” preferential for the poor”- kebijakan yang lebih berfokus pada masyarakat miskin.
Kebijakan fiscal yang pro orang miskin, antara lain bercirikan: pertama, dana daerah yang sangat terbatas ( akibat krisis ) tidak diboroskan untuk proyek mercu suar, yang kelayakan ekonominya tidak jelas, menyerap dana besar, memberikan beban fiscal yang berlebih di tahun-tahun yad., seperti proyek PKB di Desa Gunaksa, Klungkung. Kedua, alokasi dana semestinya difokuskan pada kelompok masyarakat yang paling rentan, mengalami kedalaman kemiskinan yang paling parah: buruh tani, nelayan kecil, pekerja srabutan, kaum perempuan miskin sebagai single parent, pekerja sambilan di perdesaan yang memproduksikan peralatan upakara: ceper canang, wadah segehan dan rupa-rupa perlengkapan upakara yang secara periodik memasok pasar desa.
Diperlukan perumusan kebijakan fiscal yang lebih berempati pada “wong cilik”, wong cilik dalam pemahaman Soekarno, adalah kelompok masyarakat marginal: buruh, tani dan nelayan, yang menjadi basis idiologi ekonomi kerakyatan dari Bapak Pendiri Bangsa ini.

Oleh : Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebudayaan.