Mangupura (Metrobali.com) –

Saksi hidup peristiwa Bom Bali 2002, Dr. Drs I Nyoman Sarjana mengutuk keras pelaku bom bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Bandung (7/12/2022) kemarin. Diduga motif teroris yang pernah juga tersangkut kasus Cicendo 2017 tersebut adalah menebar ketakutan pada masyarakat dan tidak ada jaminan yang pasti bahwa mantan narapidana teroris (napiter) bisa melakukan kejahatannya kembali meskipun telah menjalani masa hukumannya.

“Mungkin perlu kajian lagi apakah remisi terhadap mereka diberlakukan syarat-syarat seleksi khusus yang ketat terhadap napiter, memang amant undang-undang mengharuskan adanya kesetaraan hukum namun hendaknya dibedakan khusus pemberlakuan syarat dan ketentuannya agar lebih ketat,” kata Nyoman Sarjana.

Dirinya yang juga Ketua Parisada Hindu Darma (PHDI) Kuta selaku saksi hidup peristiwa bom Bali 2002 pernah membuat suatu kajian terkait efektivitas penyelenggaraan konsep ritual Hindu Bali dalam pemulihan Bom Bali hingga meraih gelar Magister Komunikasi dan berlanjut dengan desertasinya yang meneliti Upacara Karipu Bahaya dan memperoleh gelar Doktor.

“Saya tidak kaget dengan peristiwa tersebut, karena sesungguhnya teroris itulah yang telah rusak adalah mentalnya. Bahkan sudah merupakan penyakit kronis akut yang menurut saya susah sembuh,” terang Sarjana.

Menurutnya, 20 tahun peristiwa Bom Bali sudah berlalu, dengan UU yang mengatur hukuman dan hak REMISI yang didapat oleh para teroris apakah tidak perlu ditinjau kembali?

“Saya pribadi merasa was was, kalau para teroris dapat kebebasan. Apakah kita yakin mereka tidak akan berbuat hal yang sama? Dengan bercermin dari kejadian yang sekarang. Terjawab sudah polemik terkait ketakutan masyarakat terhadap kemudahan remisi yang didapat oleh Napiter selama ini, waspadalah,” pungkas Nyoman. (hd)