Denpasar (Metrobali.com)-
Undang-Undang Provinsi Bali Nomor 64 Tahun 1958 sudah ketinggalan jaman dan mendesak untuk segera direvisi. Pasalnya, hanya dengan cara itu perbaikan dan peningkatan kualitas masyarakat Bali bisa dilakukan dengan landasan hukum yang jelas. Demikian disampaikan oleh anggota Komisi X DPR RI, Nyoman Dhamantra di Denpasar, Selasa (29/5/ 2012).

Dalam penilaian Dhamantra, daya saing masyarakat Bali saat ini sudah mencapai titik kritis. Hal ini nampak jelas dari proses marginalisasi yang terus menerus menimpa masyarakat Bali. Misalnya, sebagaimana kerap diberitakan media massa, tentang banyaknya artshop yang kini terpaksa gulung tikar karena kalah bersaing dengan mall, atau Toko Oleh-oleh berjaringan.

“Mengapa ini terjadi? Karena peningkatan Gross Domestic Product (GDP) tidak berdampak dengan kenaikan Gross Domestik Happiness (GDH) atau peningkatan harapan hidup masyarakat Bali,” jelas anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.

Untuk memperbaiki kondisi semacam ini agar tidak berlanjut terus menerus, menurut Dhamantra, harus dilakukan secara sistematis. Cara yang tepat, tegas Dhamantra, adalah dengan merevisi UU Provinsi Bali. “Karena untuk memperbaiki kondisi Bali membutuhkan landasan hukum yang jelas,” tandas politisi vokal asal Denpasar ini.

Dhamantra pun mengusulkan beberapa poin untuk dimasukkan dalam revisi UU Provinsi Bali. Pertama adalah pasal mengenai Dana Bagi Hasil (DBH) yang lebih proporsional. “Selama ini Bali tidak pernah mendapatkan DBH dari pajak pariwisata. Padahal kekayaan utama Bali adalah sektor pariwisata. Kalau kekayaan daerah-daerah lain berupa Sumber Daya Alam (SDA), maka kekayaan Bali adalah pariwisata. Ini harus diatur dan dipertegas dalam UU hasil revisi nanti,” ujarnya.

Hal kedua yang perlu diatur dengan jelas dan tegas dalam revisi nanti adalah mengenai pelestarian budaya yang lebih harmoni. Seperti diketahui bahwa budaya merupakan menu utama (core bussiness) pariwisata Bali. Karena itu, pelestarian budaya menjadi kebutuhan mutlak yang tidak bisa dihindarkan.

“Simbol-simbol budaya seperti pura dan sebagainya itu perlu pemeliharaan dan pelestarian. Selama ini upaya pelestarian dilakukan secara swadaya oleh masyarakat sendiri. Padahal simbol-simbol budaya itu kebanyakan justru milik publik, yang sudah semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah. Inilah yang mesti mendapat penegasan dalam revisi nanti,” tutur Dhamantra.

Hal yang tidak kalah pentingnya sehingga perlu dilakukan Revisi atas UU Provisi Bali, berkaitan dengan kejelasan posisi antara Dinas dan Adat (Pekraman). “Bukankah, kasus atau konflik yang marak dilingkungan masyarakat berakar pada persoalan ini?, katanya mempertanyakan. ST-MB