Ilustrasi

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Pada Tilem Kesanga, 21 Maret 2023, satu hari di menjelang Hari Raya Nyepi, diselenggarakan upakara Bhuta Jajna, Butha dalam pengertian yang lebih holistik dari energi di bawah “kualitas” manusia yang mesti “dikelola” untuk tidak mengganggu sampai makna totalitas Alam Raya itu sendiri. Butha Hita bermakna kesejahteraan Alam Raya.
Butha Jajna yang dilandasi oleh karma baik dalam melakoni kehidupan, ketulusan dalam pelaksanaanya, “ketegepan yasa kerthi”, diyakini mampu mentransformasi Butha menjadi Dewa. Alam Raya, dalam pengertian sempit lingkungan rasa menjadi bersih, tenang dan bahkan suci, NYOMYA.
Lingkungan yang menstimulasi ketenangan, kejernihan pikiran, stabilitas rasa sampai ke kebeningan nurani, menjadi “modal” awal penting melakoni Catur Berata Penyepian, di waktu “Sipeng”, sunyi, sepi dan hening.
Keheningan yang merupakan “golden time” untuk refleksi diri, mawas diri, “nyiksik bulu”, “yatna ring angga sarira”, di tengah kehidupan yang sarat jebakan yang berasal “keberlebihan” sikap eksesif dari Ahamkara.
Momentum Nyepi untuk lebih menampilkan sifat Kedewaan manusia (divinity of the people, meminjam istilah Svami Vivekanda), “manusa ye, dewa ye”, dalam ungkapan populer dalam masyarakat Bali.
Proses, sebut saja proses rokhani ini menjadi penting dalam agama sosial, “agama rame-rame”, yang banyak memberikan “penghiburan” dan katup pelepas ketegangan (dalam dunia penuh kesumpekan), hanya saja mesti diwaspadai tidak semata-mata menjadi “bungkus” luar, dengan minim substansi, yang dapat membuat kualitas batin dan rokhani tetap “jalan di tempat”, status quo.
Dalam era disrupsi perubahan, diperlukan relilensi, daya tahan mental berkelanjutan yang datang dari sumbernya yang otentik, kekuatan Jiwa yang bersemayam dalam diri. Dalam bahasa populer, ada sinergi antara: Tubuh (Body), Pikiran (Mind) dan Jiwa (Soul).
Selamat Hari Raya Nyepi.

Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma), kelompok diskusi intelektual Hindu.