slamet effendy

Jakarta (Metrobali.com)-

Islamic State of Iraq and Syiria atau disingkat dengan ISIS saat ini sedang populer di masyarakat Indonesia dengan segala kontroversinya.

Bagi sebagian pihak yang mengikuti berita-berita mancanegara, khususnya Timur Tengah, keberadaan ISIS tentunya bukan lagi hal baru. Namun, perhatian yang lebih luas dari masyarakat tampaknya baru belakangan ini muncul.

Sebelumnya, berita dan informasi mengenai ISIS mungkin belum menjadi perhatian publik karena masyarakat masih asyik dengan pemberitaan mengenai Pemilu Presiden 2014.

Masyarakat, khususnya yang masih awam, kemungkinan baru mendengar istilah ISIS ketika salah satu koran berbahasa Inggris terbitan Jakarta menampilkan karikatur yang menjadi kontroversi karena dinilai menghina Islam.

Karikatur dalam koran tersebut menampilkan gambar beberapa orang bersenjata yang sedang menyandera orang lain dinaungi bendera bertuliskan kalimat “Laa Ilaaha ilallah” dan lafaz “Allah” dan “Rasul” bersama simbol bajak laut universal, yaitu tengkorak.

Gambar bendera dalam karikatur itu sejatinya adalah parodi dari bendera ISIS. Bendera ISIS memang bertuliskan kalimat “Laa Ilaaha ilallah” dan lafaz “Allah” dan “Rasul” di dalam lingkaran. Lingkaran itu dalam karikatur kemudian diubah menjadi tengkorak.

Setelah karikatur itu menjadi kontroversi dan kecaman dari umat Islam Indonesia, redaksi koran berbahasa Inggris itu kemudian mengeluarkan klarifikasi bahwa karikatur itu dimaksudkan untuk mengkritisi ISIS, bukannya menghina Islam.

Namun, umat Islam sejatinya berhak untuk tersinggung karena kalimat “Laa Ilaaha ilallah” bukan saja milik ISIS, tetapi seluruh umat Islam. “Laa Ilaaha ilallah” merupakan kalimat tauhid yaitu pengakuan terhadap Allah sebagai Tuhan yang esa.

ISIS di Indonesia Hampir bertepatan dengan hari raya Idul Fitri 1435 H, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan adanya video yang menampilkan beberapa orang Indonesia yang menyatakan dukungannya terhadap ISIS.

Dukungan terhadap ISIS itu kemudian berkembang dengan isu masuknya ideologi tersebut ke Indonesia, bahkan sudah ada beberapa orang yang disebut dibaiat serta ajakan untuk hijrah ke negara Islam di Irak.

Hal itu kemudian menimbulkan penolakan oleh banyak kelompok. Pemerintah sendiri melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto menyatakan menolak paham ISIS berkembang di Indonesia karena tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan kebhinekatunggalikaan.

Pernyataan Djoko Suyanto itu kemudian juga diikuti oleh berbagai elemen dan organisasi masyarakat Islam. Di berbagai daerah, terjadi penolakan terhadap ISIS dan deklarasi bahwa NKRI merupakan yang terbaik bagi demokrasi Indonesia.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Slamet Effendy Yusuf mengatakan larangan Pemerintah terkait perkembangan ideologi ISIS di Indonesia adalah sebuah hal yang tepat.

“Sangat tepat bila yang dilarang adalah ideologinya. NKRI berdasarkan ideologi Pancasila, sedangkan ISIS berdasarkan ideologi yang mengaku Islam tetapi tindakannya sangat tidak islami,” katanya.

Selain itu, Slamet menilai ideologi ISIS merupakan gerakan politik yang ditujukan untuk mendirikan negara Islam yang menyatukan Irak dan Suriah. Karena itu, ideologi tersebut tidak mungkin masuk ke Indonesia.

“Paham ISIS dipengaruhi semangat untuk memecah belah negara-negara di Timur Tengah dan berpaham kolonialisme dan imperialisme khususnya di Irak dan Suriah,” tuturnya.

Dukungan terhadap larangan berkembangnya ISIS juga muncul dari organisasi sayap Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah.

“Pelarangan itu diharapkan dapat mengantisipasi berkembangnya paham itu di tengah-tengah masyarakat. Sikap tegas pemerintah diharapkan dapat menjadi dasar hukum untuk menjauhi dan menentang berkembangnya paham tersebut,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Saleh Partaonan Daulay.

Seiring dengan larangan tersebut, Saleh berharap pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait dapat menyosialisasikan bahaya ideologi ISIS bagi keutuhan NKRI dan pertentangannya dengan Pancasila, UUD 1945 dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Saleh mengatakan sosialisasi tersebut harus melibatkan elemen organisasi masyarakat, kepemudaan dan tokoh masyarakat agar cepat tersebar luas.

“Partisipasi masyarakat luas sangat penting dan harus menjadi skala prioritas. ISIS kemungkinan paling mudah masuk melalui akar rumput. Antisipasi paling baik dengan melibatkan elemen masyarakat,” tuturnya.

Di Banten, forum organisasi kepemudaan juga menyatakan penolakan mereka terhadap ideologi ISIS untuk berkembang di Indonesia karena dapat mengancam Pancasila.

Deklarasi tersebut diikuti sejumlah organisasi pemuda se-Banten seperti Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Pemuda Muhammadiyah, Pemuda NasDem dan lain-lain.

Dalam deklarasi tersebut, forum organisasi kepemudaan se-Banten menyatakan Indonesia bukanlah negara yang didasarkan ideologi agama tertentu. Seluruh komponen bangsa telah menyepakati Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa.

Pancasila terbukti telah mampu menyatukan seluruh perbedaan yang ada, baik perbedaan suku, adat-istiadat, bahasa, dan bahkan agama.

Asal-usul ISIS Pengamat Timur Tengah Hasibullah Satrawi mengatakan asal-usul ISIS bermula dari kelompok perjuangan di Irak pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi untuk melawan invasi Amerika Serikat ke negeri 1001 malam itu pada 2003.

“Kalau saya tidak salah, kelompok itu bernama ‘Tandhimul Jihad wal Hijra’. Dalam perkembangannya, kelompok ini kemudian mendapat pengakuan dari Al Qaeda yang dipimpin Ayman Al Zawahiri sebagai cabang Al Qaeda di Irak,” katanya.

Selain melakukan perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat, Al Baghdadi yang Sunni itu juga melakukan gerakan untuk melawan dominasi Syiah di negara tersebut. Hasib mengatakan di Irak terdapat tiga kekuatan sektarian utama yaitu Sunni, Syiah dan Kurdistan.

Ketika terjadi konflik di Suriah, kelompok jihad Al Bahgdadi ini kemudian bergabung dengan kelompok-kelompok perjuangan di negara tersebut membentuk Free Syiria Army (FSA) untuk menggulingkan Bashar Al Assad.

“Suriah ini mirip dengan Irak dalam sebaran Sunni-Syiah, meskipun Al Assad yang berkuasa seorang Syiah. Selain itu, juga ada kelompok Kurdistan,” tutur alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir itu.

Di Suriah itulah, kelompok Al Baghdadi dianggap sebagai kelompok yang “nakal” oleh Al Qaeda karena di negara tersebut sudah ada cabang Al Qaeda yang juga diakui Ayman Al Zawahiri, yaitu Front Nasr. Kelompok itu oleh Amerika Serikat disebut sebagai kelompok teroris.

Dalam perkembangannya, kelompok Al Baghdadi kemudian berselisih paham dengan Front Nasr sehingga terjadi konflik di antara mereka. Ketika itulah mereka kemudian kembali ke Irak dan berhasil menguasai beberapa kota di Irak Utara seperti Mosul dan Kirkuk.

“Pada saat itulah mereka kemudian mendeklarasikan ISIS. Mereka menguasai Mosul dan beberapa kota lainnya beserta persenjataan tentara Irak termasuk enam helikopter Black Hawk buatan Amerika Serikat. Itu yang membuat ISIS menjadi kelompok perlawanan paling kaya dan canggih,” katanya.

Tak Hanya ISIS Hasib mengatakan ideologi anti-NKRI di Indonesia bukan hanya datang dari paham ISIS, tetapi juga ada pada kelompok transnasional lainnya.

“Secara kebangsaan, kita harus bangga karena ancaman transnasional seperti ISIS disikapi oleh banyak orang. Tetapi, sikap kepada ISIS ini jangan menjadi yang terakhir,” katanya.

Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) itu mengatakan sikap penolakan juga harus ditunjukkan kepada kelompok-kelompok atau ideologi yang anti-NKRI dan terkesan dibiarkan.

“Sebelum isu ISIS, di Indonesia sudah ada kelompok yang anti-NKRI dan mengusung kekhilafahan. Kelompok ini sudah lama ada di Indonesia dan juga rawan bagi NKRI,” tuturnya.

Hasib mengatakan NKRI adalah sistem bernegara yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Para pendiri negara pun bukanlah orang-orang yang tidak mengerti agama, karena banyak ulama yang ikut andil dalam mendirikan negara ini.

“NKRI terbukti sebagai konsep ijtihad politik kebangsaan yang paling baik. Bandingkan saja dengan negara-negara di Timur Tengah. Di sana untuk mengganti satu presiden saja harus ada sekian ribu nyawa yang hilang,” katanya.

Menurut Hasib, Indonesia dengan sistem NKRI pantas menjadi kiblat demokrasi di dunia Islam karena telah terjadi proses pematangan demokrasi yang luar biasa.

“Satu-satunya negara yang mungkin menjadi kiblat demokrasi dunia Islam adalah Indonesia. Mesir saja mau berguru soal demokrasi ke Indonesia,” tuturnya.

Mesir bersama Ukraina merupakan negara yang pertama memperjuangkan pengakuan atas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam Sidang Dewan Keamanan PBB pada Januari-Februari 1946.

“Selama ini yang diperhitungkan sebagai negara paling demokrasi di dunia Islam adalah Turki dan Iran, tapi Turki tidak mungkin menjadi model, karena negara itu sekuler. Iran juga tidak mungkin karena Syiah,” katanya. AN-MB