gubernur bali pkb

AJANG seni tahunan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-37 dengan tema Jagaddhita, yang dimaknai sebagai upaya memperkokoh kesejahteraan masyarakat semestinya dapat memuliakan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali untuk mewujudkan kemaslahatan publik berkeadilan, berbudaya dan bermartabat sebagai diplomasi budaya global yang mendunia dalam menyongsong perkembangan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) tahun ini.

Mengingat, kultur tradisi yang dikonstruksi dalam PKB selama ini merupakan upaya bijak untuk melatih pola pikir kritis warga masyarakat supaya bisa menghargai proses bekerja secara jujur, sabar, dan bersemangat dengan prinsip ngayah tulus iklas tanpa pamrih sesuai konteks kekinian dan peradaban global dengan perkembangan teknologi serba canggihnya. Sehingga upaya revitalisasi, pelestarian, dan pengembangan kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali tetap ajeg dan lestari sepanjang zaman.

Oleh sebab itulah, sejumlah perubahan pun telah diupayakan oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika untuk membenahi pelaksanaan PKB ke-37 tahun. Supaya, beragam fenomena klasik yang telah menodai keagungan nilai adiluhung ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali yang dikonstruksi dalam PKB tahun lalu tidak terulang kembali.

Dalam konteks ini, sesuai kajian kritis pengamatan di lapangan secara internal diapresiasi publik telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Di mana ajang pameran telah tertata rapi dan lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas dengan menyajikan aneka produk seni inovatif berbasis kearifan budaya lokal khas Bali.

Di samping itu, ruang media centre pun telah diapresiasi secara lebih baik. Sehingga kinerja para jurnalis dan fotografer untuk menyebarkan beragam informasi seni budaya dalam pelaksanaan PKB menjadi semakin lebih cepat, mudah, serta efektif dan efisien.

Bahkan, untuk menepis kesan monotun dari program pagelaran, para tim kurator yang bertugas mengurasi beragam pertunjukan seni budaya dalam pelaksanaan PKB ke-37 tahun ini pun telah berupaya maksimal melakukan beragam inovasi kreatif dengan disertai upaya pembinaan secara lebih intensif.

Sehingga, dengan demikian kualitas dari profesionalisme seniman yang tampil di ajang PKB tahun ini diharapkan menjadi semakin lebih meningkat dan bahkan mampu bersaing secara global dalam menyongsong perkembangan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) tahun ini.

Realitas ini tentunya menunjukan bahwa kinerja kepanitian terkait pembenahan internal dalam PKB ke-37 tahun ini dapat dianggap telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dan patut diapresiasi publik. Supaya prestasi yang membanggakan ini dapat dipertahankan dan bahkan harus dapat lebih ditingkatkan dalam pelaksanaan PKB selanjutnya.

Ironisnya, pembenahan secara internal ini rupanya tidak dibarengi adanya perubahan eksternal terkait perilaku warga masyarakat di kawasan sekitar UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar yang senantiasa dicap publik masih setia dengan jurus aji mumpung (instan) untuk memuaskan keinginan dari kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu.

Ini karena secara publik telah dianggap sengaja membiarkan terjadinya aksi premanisme dan praktik pungutan liar (pungli) berdalih penggalian dana (bazar) secara terus menerus dalam pelaksanaan PKB selama ini, tanpa ada kesadaran bersama untuk berbenah diri.

Celakanya, tradisi jalan pintas yang salah kaprah dan cacat moral ini senantiasa secara sengaja mengabaikan kepentingan khalayak publik dalam arti lebih luas dengan mencaplok ruas jalan raya serta menguasai ruang kreativitas para seniman akademis, yakni perguruan tinggi Insititut Seni Indonesia (ISI) Denpasar untuk lahan parkir komersial yang tak berbudaya dan bermartabat.

Kejadian ini pun semakin mentradisi karena adanya desakan egoisme ekonomi yang kebablasan. Artinya hanya untuk memenuhi hasrat keinginan pribadi maupun kelompok/golongan tertentu secara instan. Sehingga, memicu terjadinya kesenjangan sosial di lingkungan sekitar UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar.

Tragisnya, etika sosial dan peningkatkan fungsi fasilitas publik pun diabaikan. Di mana aksi premanisme dan praktik pungli yang berlindung dalam birokrasi desa pekraman di tingkat banjar dan melibatkan kaum muda, generasi emas bangsa ini cenderung dilakukan secara paksaan disertai ancaman dengan sapaan hujatan kasar terhadap warga masyarakat yang tidak terima/protes serta tidak mau menuruti kehendaknya karena memang merasa sedang tidak punya kepentingan mengunjungi pelaksanaan PKB dan kebetulan sekadar sedang melintas saja.

Fenomena melawan hukum ini acapkali terjadi sekitar UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar, tepatnya seperti di pertigaan jalan menuju kampus Perguruan Tinggi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Ironisnya, petugas kepanitian yang terkait dengan hal ini sepertinya sengaja membiarkan dan bahkan terkesan tidak mampu melakukan upaya penegakan supremasi hukum secara tegas. Sungguh sangat menyedihkan, bukan?

Hal ini berarti rasa ikut memiliki dan kepedulian warga masyarakat terutama yang berada di lingkungan sekitar UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar terhadap PKB selama ini masih sangat rendah dan bahkan dapat dianggap tidak mencerminkan moralitas dan etika kehidupan berbudaya dan bermartabat secara mendunia.

Menyikapi fenomena ini Gubernur Bali, Made Mangku Pastika hanya mengatakan bahwa persoalan terkait faktor eksternal tidak menjadi atensinya, karena sudah ada instansi terkait yang menangani hal tersebut. Maka itulah, upaya pembenahan secara eksternal sesungguhnya merupakan wujud kepedulian bersama dari warga masyarakat terutama di lingkungan sekitar tempat ini, UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar terhadap pelaksanaan PKB yang lebih baik, berbudaya dan bermartabat.

Diakuinya, secara internal terkait pameran sudah lebih baik dan bahkan seniman merasa senang karena PKB tidak lagi dicap sebagai pasar malam. Jika masih ada yang belum baik dan kurang peduli harus terus dikritisi agar dapat dilakukan pembenahan. “Bila perlu tulis besar-besar di koran perilaku tidak peduli tersebut, biar semua orang paham persoalan di PKB. Padahal kita sudah susah payah melakukan perubahan agar lebih baik,” tegasnya dalam nada kesal, Rabu (17/6).

Menyikapi hal ini, publik seakan menuding bahwa para elite politik penguasa pemangku kebijakan pemerintahan di tingkat kabupaten/kota dalam hal ini Wali Kota Denpasar, IB Rai Dharmawijaya Mantra tidak mampu bersinergi bersama pemerintahan Bali untuk membenahi citra negatif pelaksanaan PKB selama ini, serta dianggap kurang sigap dan tanggap dalam menangani perilaku warga masyarakatnya, yang kencenderungan melakukan tindakan melawan hukum dan tidak mencerminkan etika kehidupan berbudaya dan bermartabat sebagai Kota Berwawasan Budaya.

Salah seorang pengerajin dan juga Duta Endek Kota Denpasar, yang ikut berpameran di PKB ke-37 tahun ini dan tak mau namanya dikorankan mengakui prihantin dengan sikap warga sekitar UPT. Taman Budaya (arts centre) Bali Denpasar, yang tidak mencerminkan sebagai Kota Berwawasan Budaya.

“Saya sempat dipaksa masuk ke kampus ISI Denpasar dan dihujat dengan kata-kata kasar saat hendak melintas menuju UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar untuk menemui rekan kerja,” katanya, dengan nada kecewa sekaligus prihatin.

Menurutnya, semestinya Wali Kota Denpasar, IB Rai Dharmawijaya Mantra bersama jajarannya dapat menidaklanjuti fenomena tidak terpuji ini secepatnya, sehingga citra PKB ke-37 tahun ini tidak tercoreng di kancah internasional. WB-MB