Denpasar (Metrobali.com)-

 

Ucapan terang-terangan I Dewa Ngurah Swastha, SH yang disebut abhiseka sebagai Ida Pengelingsir Agung Putra Sukahet, Dharma Kerta PHDI Mahasabha Luar Biasa (MLB), di Pura Ulun Danu Batur, 5 Juni, menurut kacamata hukum pidana, selain bisa dibidik dengan dugaan tindak penghasutan, sesuai pasal 160 KUHP, terbuka juga untuk dibidik dengan pasal 156 dan 156a KUHP tentang permusuhan dan kebencian. Hal itu ditegaskan oleh Nyoman Yudara, SH dari Yudara Law Firm, ketika diminta pandangan hukumnya oleh media, mengomentari pernyataan Ida Sukahet tersebut. Adapun ucapan Ida Sukahet yang videonya viral di media dan group adalah: ‘’Saya setuju, dengan dana demarkasi ini, kita identifikasi, mana orang-orang yang penganut sampradaya asing, mana yang ajeg Hindu dresta Bali, harus colek pamorin, begitu dia atau mereka ke pura, tanya, apakah akan kembali ke dresta Bali, ataukah tetap sampradaya asing, karena kalau mereka kembali; inggih tityang matur sisip, ngaturang Guru Piduka, Upasaksi. Karena tujuan kita, bukan membenci, tapi menyadarkan dan membina, tapi kalau tidak bisa disadarkan dan dibina, keluar dari Bali…..dst’’. Yudara berpendapat, memang bisa saja kalimat demi kalimat Ida Sukahet mengandung unsur hasutan, menghasut orang untuk ‘’mencolekpamorin’’ atau mengidentifikasi dan secara awam dikenal sebagai ‘’sweeping’’ pemedek yang mau ke Pura Hindu, untuk mengetahui apa aliran yang dianut. Kalau ia sampradaya asing dan tidak bisa dibina dan disadarkan, Sukahet melanjutkan,’’keluar dari Bali.’’ Namun, Yudara juga menilai bisa saja ucapan Sukahet tersebut ditelaah dan dibuktikan dari pendekatan pasal 156 KUHP. Pasal 156 Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bila dilihat dalam pasal 156, ucapan Sukahet di Pura Ulun Danu Batur, diucapkan di muka umum (di hadapan puluhan orang, terdiri Sulinggih, Pemangku, Prajuru, Pemedek), mengandung nada kebencian terhadap golongan sebagai tercermin dari kata-kata ‘’identifikasi, colek pamorin, ….minta meninggalkan Bali’’. Sesuai pasal 156, dari ucapan Ida Sukahet diatas ada penyampaian perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, dan diancam penjara paling lama 4 tahun. Ucapan Sukahet berupa permintaan untuk ‘’mengidentifikasi, colek pamorin, meminta meninggalkan Bali’’, bukanlah edukasi, tetapi mengandung unsur permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat, dalam hal ini yang oleh Sukahet disebut sebagai penganut sampradaya asing yang tidak bisa disadarkan dan dibina. ‘’Kalau terhadap mereka yang tidak bisa disadarkan dan tidak bisa dibina, narasinya adalah tetap mengedukasi dengan sabar, seperti para tetua mendidik anak dan masyarakat dengan sabar, termasuk contoh ekstremnya narapidana yang keluar dari penjara pun diupayakan untuk diterima kembali oleh masyarakat, maka seperti itulah mestinya Ida Sukahet mendorong pembinaan dan upaya penyadaran, bukan dengan meminta keluar Bali. Toh, napi-napi berat, seperti pelaku pembunuhan pun, setelah keluar penjara, tidak diusir dari desa adatnya,’’ imbuh Yudara. Lalu dari pasal 156a, yang bunyinya,’’Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan,’’…jelas nada permusuhan dari orasi Ida Sukahet di Ulun Danu adalah, mengidentifikasi, mencolek pamor, meminta keluar Bali,’’ padahal sama sekali tidak ada hak dan kewenangan dari Ida Sukahet untuk menyatakan itu, dan mereka yang diminta melakukan/dihasut juga bukanlah orang yang berwenang untuk mengidentifikasi, mencolek pamor, meminta keluar dari Bali. ‘’Jadi, tindakan yang dilakukan tanpa hak dan kewenangan, disertai proses dan rangkaian yang tertuang dalam narasi Ida Sukahet pada 5 Juni itu, jelas ada cetusa perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan,’’ imbuh Yudara. Yudara percaya, siapapun nantinya, bila melakukan proses hukum terhadap narasi Sukahet di Pura Ulun Danu Batur itu, sangat mungkin akan mengusutnya dengan pasal berlapis, pasal 156, 156a dan pasal 160. Kalau pelaku yang menyebarkan videonya juga dibidik, ia bisa dikenakan UU ITE tentang penyebaran rasa kebencian dan permusuhan. (SUT-MB)