Denpasar (Metrobali.com)-

Banyak cara yang dapat dilakukan dalam mengedukasi publik sekaligus mencetak karakter bangsa yang lebih berbudaya dan berkeadaban tanpa harus terbebani kendala klasik alias operasional (dana). Salah satunya, adalah dengan bermain teater khususnya monolog. Ya, itulah cara praktis yang kini ditawarkan oleh Putu Satria Kusuma dalam menyebarkan pengaruh positifnya kepada khayalak publik dari kalangan pelajar, terutama para pencinta seni budaya Bali. Seperti aksinya dalam pertunjukan monolog berjudul Menunggu Tikus di Nabeshima Creative Space, Jalan Padma, Gg. Harum No.5 Penatih Denpasar, Jumat (5/10) malam lalu.

Dalam kesempatan itu, Putu Satria, seniman yang juga pegawai negeri ini secara vulgar dan lugas “menelanjangi” dirinya dalam bahasa ungkap tikus sebagai simbolik dari perlawanan terhadap karakter antikorupsi. Hampir sekitar sejam lamanya, seniman teater berambut gondrong (panjang) ini membeberkan kegelisahan dirinya terhadap “penyakit sosial” berupa korupsi yang kini sedang mengancam kehidupan khalayak publik, terutama dari kalangan masyarakat miskin dan terlantar. “Katakan tidak pada korupsi,” teriak Putu Satria berkali-kali di tengah aksinya.

Putu Satria mengakui monolog terbarunya berjudul Menunggu Tikus ini terinspirasi dari sejumlah karya monolog tentang gerakan antikorupsi yang sempat dipentaskan sebelumnya. Dimaksudkan, untuk menggugah terbentuknya karakter antikorupsi di dalam hati para generasi muda. Terutama kalangan pelajar pencinta seni budaya, sebagai penerus bangsa yang berkualitas dan unggul, serta berbudaya.

Menurutnya, sikap dan perilaku elite politik penguasa sebagai pemangku kebijakan kini cenderung mengabaikan nilai moralitas dan etika sosial, sehingga tanpa rasa malu dengan pongah-nya (nekat tanpa merasa bersalah) melakukan tindakan tidak terpuji dengan cara mengorupsi uang rakyat untuk kepentingan pribadi maupun persekusi dari etnisitas kelompok/golongan tertentu. “Saya sedih, prihatin bercampur marah menyaksikan para elite politik pemangku kebijakan kini berlomba-lomba masuk hotel prodeo karena terjerat kasus korupsi,” sesalnya.

Makanya, ke depan para generasi muda bangsa harus mulai belajar hidup sederhana dan tidak mudah terpicu perilaku hidup hedonis dan konsumtif, serta berupaya meningatkan kesadaran untuk menguatkan nilai etika sosial dan moralitas. Sehingga tidak mudah terjerumus tindakan yang dapat merugikan kepentingan khayalak publik terutamanya korupsi. “Agar tidak ikut disebut sebagai tikus, marilah kita cegah korupsi secara terus menerus. Mulailah dari diri sendiri,” gugahnya. IJA-MB