MENJELANG Pemilu Legislatif dan Presiden 2014, ada prasyarat kualifikasi formal yang ditentukan berdasarkan undang-undang untuk seorang calon legislator dan kandidat presiden.

Namun, di samping syarat formal, setiap warga punya hak, setidaknya untuk kepentingan personal, untuk menetapkan syarat tak formal. Tulisan ini hendak menawarkan satu kualifikasi yang pantas dimiliki para elit yang akan bertarung dalam Pemilu 2014. Kualifikasi itu cukup diringkus dalam satu kata kunci: inspiratif.

Inspiratif adalah ajektiva yang berpadanan dengan makna mengilhami. Kata kunci ini pula yang menjadi jawaban atas teka-teki kenapa pada dekade 50-60 sebelum muncul sekolah-sekolah dengan label favorit atau bertaraf internasional tetap melahirkan orang-orang hebat di ranah ilmu pengetahuan, seni, perjuangan sosial politik, dan wirausaha.

Mereka, di samping diberi telenta personal yang di atas rata-rata, umumnya bersentuhan dengan orang-orang yang inspiratif dalam perjalanan hidup mereka. Orang-orang itu bisa guru yang inspiratif atau orang tua yang layak jadi teladan dan kompas dalam mengarungi kehidupan di masa depan mereka.

Jika anda sekolah di sekolah desa biasa-biasa saja, tapi masih ada satu guru yang inspiratif, beruntunglah anda. Seorang guru yang inspiratif ini akan menjadi model peranan dalam kenangan/memori yang menggerakkan dalam hidup. Jadi tak perlu ada banyak orang yang memberi inspirasi pada seseorang untuk menjadikan orang itu berhasil mengarungi hidup yang semakin menuntut ketangguhan mental dan keterampilan teknis ini.

Atas dasar logika itulah, maka rakyat Indonesia akan memperoleh berkah melimpah jika di antara para elit politik yang berlaga di pesta politik 2014 ada yang memiliki watak atau kemampuan menginspirasi. Tentu saja, sang elite mesti menang dalang kompetisi meraih kursi jabatan politik itu.

Jika dielaborasi secara rinci-operasional, ciri seorang pemimpin yang inspiratif tentu mesti mencakup banyak kualifikasi. Tapi agaknya tak mudah menemukan manusia super dengan banyak kualifikasi seperti itu. Untuk Indonesia saat ini, barangkali yang dibutuhkan adalah seorang pemimpin yang bisa menginspirasi rakyat untuk bangga menjadi warga yang punya integritas.

Jika dia seorang presiden, dia hanya perlu tahu apa yang menjadi kebutuhan paling fundamental bagi rakyat. Melihat situasi saat ini, isu integritas pemimpin yang inspiratif itulah yang perlu dikedepankan. Integritas seseorang bisa diterapkan dalam banyak segi kehidupan.

Untuk kelas pemimpin nasional, integritas yang bisa menginspirasi perlu istimewa. Dalam sejarah politik modern, integritas seseorang bisa direkayasa tapi juga bisa dirusak oleh lawan-lawan politik. Media bisa digunakan untuk merekayasa alias mendongkrak citra integritas calon pemimpin. Tapi lewat media massa juga kualitas seorang pemimpin yang berintegritas tinggi bisa dipermainkan.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang tak punya integritas bertebaran di mana-mana, termasuk di lingkungan lembaga-lembaga formal, yang terbukti dengan adanya kasus-kasus korupsi yang membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kewalahan dalam menanganinya secara tuntas.

Namun, dalam keseharian pula, juga cukup banyak orang-orang yang berintegritas, entah karena terinspirasi oleh tokoh-tokoh keagamaan yang mereka sanjung, entah karena terinspirasi oleh orang tua mereka yang menanamkannya sejak proses pemelajaran yang dimulai di usia dini.

Dalam kancah relasi makna integritas yang inspiratif itu, kadang ada paradoks yang menjadi realitas sehari-hari. Artinya, orang-orang yang berintegritas tak selalu bisa memberi inspirasi. Sebaliknya, orang yang inspiratif tak selamanya punya sejarah integritas yang seratus persen layak diteladani.

Orang yang punya integritas dan gemar memamerkan integritas pribadinya bisa malah menjengkelkan dan bukan memancarkan inspirasi bagi orang lain. Sebaliknya, orang inspiratif bisa jadi pernah melakukan tindakan yang mencederai rekam jejak integritas pribadinya. Yang ideal untuk seorang pemimpin nasional yang pantas dipilih oleh warga negara adalah sosok yang tak mengandung paradoks semacam itu.

Namun, jika harus ada yang dipilih: manakah yang terpenting, yang inspiratif atau yang berintegritas? Jawaban atas dilema itu mungkin berupa proposisi sebagai berikut: karakter yang inspiratif lebih diprioritaskan namun jangan sampai watak integritas minimal tak terpenuhi. Kalau calon pemimpin itu pernah mencederai intgritasnya hanya sekadar pernah mengambil buah jambu tetangganya di masa kanak-kanak tanpa seizin yang punya, pencederaan integritas setaraf itu bolehlah dimaafkan.

Dalam dunia politik yang ganas, hal kecil dalam soal integritas pribadi itu bisa dipompa, dieksploitasi oleh lawan politik mereka menjadi isu moral yang gawat. Tapi, suara publik yang sering disepadankan dengan suara Tuhan akan menimbang secara adil mana isu moral yang benar-benar krusial bagi calon pemimpin atau elit nasional.

Untuk menjadi pemimpin yang inspiratif di saat sekarang, untuk konteks semangat zaman Indonesia kini, tak perlu harus punya kemampuan akademis hebat-hebat. Cukup punya kewarasan berpikir atau logika yang lugas. Rakyat senang dengan elit yang lugu, tapi jujur/berintegritas. Memberi contoh kerja keras dan bukan mendorong-dorong yang di bawah untuk mengerjakan sesuatu adalah sebentuk kerja inspiratif bagi masyarakat luas. Sosok seperti itulah yang dibutuhkan dalam kontes demokrasi 2014.  M Sunyoto/Antara