tari legong keraton dan gamelan bali

Melanjutkan pendidikan di luar negeri bukan sekedar mempelajari bidang studi di kampus saja, akan tetapi perlu juga mempelajari kehidupan budaya setempat dan berinteraksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. Perbedaan budaya, pola pikir serta tingkah laku keseharian di negara mana kita melanjutkan pendidikan memiliki ciri khas masing-masing. Ciri khas ini menjadi objek perbandingan dan daya tarik untuk dipelajari. Dengan demikian mempelajari ciri khas tersebut akan memudahkan kita memperluas wawasan dalam menimba pengalaman baru di negara mana kita belajar.

Sebuah acara menarik yang dikemas dalam event multikultur berjudul ”Open House OBSG” diselenggarakan oleh OBSG ( Ontmoeting Buitenlandse Studenten Gent) pada tanggal 9 Mei 2015 di kota Gent Belgia. OBSG adalah sebuah asosiasi non-government yang menyediakan tempat tinggal “home-away-from-home” dan tempat bertemu/berinteraksi antar mahasiswa dari berbagai negara terutama negara-negara berkembang baik yang menempuh studi doktor, master ataupun peneliti yang sedang menempuh studi di Universitas Gent.

Kegiatan ‘Open House OBSG” multikultur ini dimeriahkan berbagai penampilan seni tradisional, musik modern, etnis musik, band dan hidangan kuliner khas beberapa negara diantaranya Vietnam, India, Indonesia, Filipina, Etiopia dan beberapa negara Afrika lainnya. Dalam kesempatan tersebut mahasiswa Indonesia diwakili oleh Para Pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Belgia. Penampilan Indonesia tersebut adalah tari Sriwijaya oleh Dian Wulandari, Grup band PPI dan penampilan gamelan dan tari Bali dibawah pimpinan Made Agus Wardana, seniman Bali yang tinggal di Belgia.

Hadir dalam kesempatan tersebut, seorang Mahasiswa dari Bali, Pande Gde Sasmita, Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana Bali yang sedang menempuh Study S3 bidang aquakultur menggunakan beasiswa Dikti di Lab Aquaculture and Artemia Reference Centre (ARC), Ghent University. Bli Pande sapaan akrabnya, setiap tahun berpartisipasi aktif dalam kegiatan ini beserta para pelajar Indonesia lainnya dengan menampilkan tari dan musik tradisional Indonesia.

Kali ini sungguh berbeda, Pande bergeliat memainkan gamelan Bali mengiringi penari Legong keraton. Gamelan Bali ini hanya dimainkan dalam jumlah kecil “mini gamelan” terdiri dari 3 orang penabuh. Dengan kelincahannya, Pande memainkan tekhnik-tekhnik gamelan Bali seperti kotekan, norot, ngoncag, nguncab, ngisep dengan tempo cepat maupun lambat. Sementara itu bunyi kendang menghentak keras mempercepat dan memperlambat tempo secara tegas. Lalu secara beruntun bunyi kendang memberikan aksen kuat/angsel kepada gerak tingkah penari legong yang ditarikan oleh penari cantik Ni Wayan Yuadiani.

Pertunjukan ini menjadi pusat perhatian yang mendapat applause oleh penontonnya. Lebih unik lagi, pada awal pertunjukan dijelaskan tentang pengertian gamelan Bali. Bagaimana cara memainkan, apa laras yang digunakan hingga pesan promosi Indonesia dengan humor segar untuk mengakrabkan suasana pertunjukan. Disamping itu juga para penonton sangat terpesona dengan penjelasan tari legong dimana penonton diajak mempraktekan ekspresi seledet mata dengan ucapan singkat ”Det Pong” yang menjadi ciri khas tarian Bali tersebut.

Menurut Annemie Derbaix, OBSG socialservice officer (Kepala Bidang Pelayanan Sosial OBSG ) yang mengundang khusus penampilan grup gamelan Bali ini menyampaikan, ” Saya sangat kagum dengan penampilan gamelan dan tari Bali ini, sangat menarik “. Lebih lanjut disampaikan, adanya unsur edukasi dalam penjelasan singkat tentang gamelan dan tari Bali memberi kesan berbeda dengan penampilan grup lainnya. Hal-hal berbau kreatif inilah yang sangat diharapkan sehingga acara yang dilakukan tidak monoton setiap tahunnya. Saking senangnya, Annemie menyempatkan diri berfoto bersama kepada penari dan penabuh gamelan Bali ini.

Bagi Pande sebagai seorang penabuh dan seorang mahasiswa, berpartisipasi aktif dalam kegiatan ini membawa kesan yang sangat positif. Kita bertemu, berbicara, bertukar pengalaman, mengeksplore budaya, mencicipi hidangan negara lain dan mempertunjukan budaya kita. Itu semua memperluas cakrawala cara berpikir, cara pandang terhadap sebuah lingkungan agar menghargai perbedaan budaya orang lain. Perbedaan budaya itu bukanlah sebuah hal yang perlu ditakuti, justru harus dipahami dan dimengerti. Dengan pemahaman itu akan tumbuh sikap toleransi dan empati terhadap kebudayaan itu sendiri.  Hal positif yang lain yang dapat diambil dari kegiatan ini, adalah sebagai seorang mahasiswa, Pande juga termotivasi dan mendapat suntikan semangat baru untuk mengiringi harapannya menyelesaikan studi S3 di Universitas Gent dalam waktu yang tidak terlalu lama. Semoga ! (Ciaaattt-MB)