I Nyoman Sukadana, SE., MM., CHE.

 Kita telah mendengar istilah disrupsi dan melihat serta merasakan sendiri penomenanya dalam kehidupan kita. Yang paling terasa adalah bagaimana teknologi mampu menjadi peran substitusi dari banyak aktivitas manusia. Dampaknya banyak, mulai dari dampak positif sampai dengan dampak negatif yang dihasilkannya. Tetapi kali ini kita mencoba bahas proses disrupsi ini dari sisi yang berbeda. Self Disruption, ketika kenyamanan menjadi boomerang dan menghempaskan kita dari keberhasilan dan pencapaian.

Suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat hadirnya “masa depan” ke masa kini. Perubahan semacam itu membuat segala sesuatu yang semula berjalan dengan biasa – biasa saja dan serba teratur, tiba-tiba harus berubah dan berhenti secara mendadak akibat hadirnya sesuatu yang baru

Perubahan-perubahan yang terjadi secara massive ini bisa jadi menjadi sebuah pukulan bagi organisasi yang terbiasa dengan kenyamanan dan rutinitas yang oleh banyak orang disebut dengan istilah konvensional. Menghadapi sebuah proses yang lahir bukan dari proses konvensional tetapi dihadapi dengan pola konvensional adalah sebuah tindakan yang sia-sia bahkan berujung membawa organisasi atau perusahan ke arah keterpurukan.

Tanggapan bisa datang dengan sangat beragam, ada pemimpin yang berdiri tegak dan memimpin revolusi kemajuan perusahannya dengan cara berselancar dalam derasnya arus perubahan yang ada tetapi ada pula mereka yang berdiam diri serta mengumpat dan menyalahkan keadaan, menyalahkan teknologi atau menyalahkan staffnya. Mereka menyalahkan kompetitor, menyalahkan pemerintah dan bahkan menyalahkan daya beli pasar.

Proses Disrupsi selalu dimulai dengan kreativitas yang melahirkan inovasi dan memutus pola-pola pendekatan lama. Meminjam istilah dari Prof. Renald Kasali “The Lazy Company” biasanya sangat bangga dengan pencapaian masa lalunya dan terlena, menganggap bahwa pendekatan pada masanya selalu relevan dengan pola perkembangan saat ini. Ini merupakan mimpi buruk yang tidak disadari yang melahirkan sikap arogansi yang biasanya dimiliki oleh seorang leader yang selalu self centric dan terlalu bangga dengan karya besarnya di masa lalu dan menolak pembaharuan masa kini dan juga menolak menggali serta menjawab kegelisahan masa depan organisasinya.

Lahirnya begitu banyak perusahaan startup yang tiba-tiba mampu hadir menjadi ‘pain killer’ dan mendapatkan tempat di masyarakat bahkan menjadi pendamping dalam keseharian masyarakat adalah sebuah keniscayaan yang ada dan tanpa disadari oleh banyak orang semua ini lahir dari sebuah pendekatan baru, lahir dari sebuah keberanian memutus alur birokrasi yang ribet, menyederhanakan pola suply chain serta keberanian dalam eksplorasi teknologi dan memberikan tempat pada ide-ide yang tidak biasa bahkan banyak yang mengatakan “liar” dalam arti yang berbeda.

Apakah kesuksesan sebuah organisasi atau perusahaan selalu harus ada proses sebuah inovasi baru yang diciptakannya sendiri? Pastinya tidak. Banyak perusahaan yang mampu survive ketika mereka mampu mendayagunakan teknologi dan berbagai platform yang ada. Tetapi tidak sedikit perusahaan yang berinvestasi besar untuk membeli sebuah platform justru tidak digunakan dengan cara maksimal bahkan kadang banyak yang berfungsi tidak lebih dari 15% dari total keseluruhan fitur yang dimilikinya. Kenapa? Karena tidak ada manusia penggerak di dalam organisasinya dengan bahasa lain “lack of leadership” artinya kekuatan finansial yang di back up oleh kejayaan masa lalu namun tidak mampu menghadapi masa kini dan memprediksi masa depan.

Ketika seorang sahabat saya berbicara terkait digital leadership beberapa waktu lalu pas ketika memberikan testimoni terkait satu produk yang saya luncurkan berupa platform e-campus maka seketika itu juga saya langsung mencari lebih lanjut terkait istilah ini. Dan iya, digital leadership adalah satu formula untuk membawa sebuah organisasi atau perusahan mampu melewati berbagai tantangan dalam setiap masanya. Seseorang yang memiliki sense of digital leadership adalah ia yang memiliki pemahaman terhadap digital technology dengan baik.

“Mendobrak Kemapanan” Sebuah kalimat yang memberikan energi, menantang diri untuk berani meninggalkan zona kenyamanan yang mencari kambing hitam terhadap tidak mampuan kita untuk membuat pola dan cara-cara baru.

Keberanian untuk berdiri dan memimpin team dengan spirit digital leadership serta pemahaman terhadap digital technology akan melahirkan wisdom, kreativitas dan membuka ruang-ruang ivovasi dalam perusahan dan organisasi kita sehingga kita mampu berselancar di tengah badai yang selalu mengintai.

Ditulis oleh:
I Nyoman Sukadana, SE., MM., CHE.
Mahasiswa program doktoral Universitas Satya Wacana