Gianyar, (Metrobali.com)-

Pada tanggal 18 Agustus 2021, Desa Kenderan menerima penghargaan Anugerah Desa Wisata Indonesia dari Kemenparekraf, yang diumumkan langsung oleh Menteri Sandiaga Uno. Penghargaan tersebut tentu bukanlah merupakan sesuatu yang jatuh begitu saja dari langit, namun merupakan kerja keras antara Sinergi Pang Pada Payu (SIP3), desa adat, desa dinas, pokdarwis, dan BUMDes.

Menurut A. A. Ayu Ngurah Tini Rusmini Gorda, selaku ketua SIP3 dalam chanel youtube Diari Bali, menyatakan bahwa penghargaan yang diterima ini kian mematangkan arah maupun konsep pengembangan desa Kenderan sebagai desa wisata berbasis dunia. Dalam upaya pengembangan, SIP3 menggandeng sejumlah institusi perguran tinggi di Bali, salah satunya adalah Universitas Mahasaraswati Denpasar.

Sebagai bagian dari pengembangan tersebut dengan latar belakang ilmu sejarah, kami tim peneliti dari Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Mahasaraswati Denpasar memandang bahwa desa Kenderan kaya akan potensi sejarah. Hal itu ditandai dengan adanya beberapa situs sejarah, seperti: cetakan Nekara di Pura Desa lan Puseh Manuaba, Situs Kubur Batu/Sarkofagus di Pura Subak Batulusu , dan situs sejarah lainnya. Potensi sejarah tersebut sangat disayangkan apabila dilewatkan begitu saja dalam upaya pengembangan Desa Kenderan sebagai desa wisata.

Namun dalam pengembangan potensi tersebut ada sejumlah tantangan yang mesti dihadapi. Pertama, bagaimana menyajikan narasi historis pada setiap situs-situs sejarah bagi wisatawan. Diperlukan sebuah sajian narasi yang di satu sisi tetap menjaga akurasi, di sisi lain diperlukan narasi yang nyaman dibaca oleh wisatawan dari berbagai khalayak.

Tantangan lainnya selain narasi adalah pengemasan narasi tersebut yang juga merupakan aspek yang patut diperhatikan. Saat ini, merujuk pada berbagai tempat wisata berbasis sejarah lainnya, narasi tersebut disajikan dalam bentuk aplikasi QR-Code. Selain memudahkan dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, narasi dalam bentuk QR-Code juga sangat menjunjung keterbukaan informasi sejarah. Dalam artian, setiap informasi situs sejarah Kenderan yang termuat dalam QR-Code juga dapat dilacak darimana sumbernya, entah sudah merupakan sebuah kajian ilmiah atau masih merupakan asumsi berupa mitos yang membutuhkan kajian lebih jauh. Kedua tantangan ini sudah diupayakan oleh kami tim peneliti dari Pendidikan Sejarah FKIP, Universitas Mahasaraswati Denpasar.

Terakhir kami juga melihat bahwa pengembangan desa wisata berbasis situs sejarah di desa Kenderan juga menyimpan potensi untuk membangun kesadaran untuk pembangunan berkelanjutan. Dalam arti, dengan melihat situs-situs sejarah yang ada di desa Kenderan, para pengunjung dibangunkan kesadarannya jika situs sejarah yang ada Kenderan secara implisit menitipkan pesan, bahwa sejarah manusia Bali termasuk Kenderan tidak bisa dilepaskan dari eksitensi alam sebagai penyokong hidup. Entah apapun bentuk dari situs sejarah itu, entah dari generasi/periode apapun situs sejarah tersebut berasal, sejarah Kenderan berawal dari kemurahan alamnya. Dari kemurahan alam itulah, desa ini akhirnya menjadi pusat kehidupan manusia sejak zaman pra-sejarah, dengan meninggalkan sejumlah situs-situs sejarah. Dengan demikian, desa wisata tidak sekedar merupakan pemberdayaan potensi desa namun sebagai bagian dari upaya menata kembali tatanan dunia yang suistanable. (RED-MB)