Jakarta (Metrobali.com)-

Kekalahan dalam kompetisi politik yang berlangsung dalam suasana demokratis bukanlah akhir dari segalanya, termasuk tidak menang dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

Itu sebabnya, dalam setiap pertarungan politik, sang pecundang sering dengan lapang dada segera mengucapkan selamat atas kemenangan pesaingnya dalam pemilihan umum untuk meraih kursi kepresidenan, maupun jabatan politik di bawahnya seperti gubernur atau wali kota.

Menang-kalah akhirnya hanya proses alamiah dalam kehidupan politik yang demokratis. Dalam konteks inilah, poltik sebenarnya merupakan pertandingan untuk memperlihatkan kinerja bagi kemaslahatan rakyat banyak.

Indonesia baru saja menyelenggarakan Pilpres 2014 yang hasilnya secara resmi dikukuhkan Mahkamah Konstitusi (MK) dan dimenangi oleh pasangan Jokowi-Kalla atas pesaing mereka, yakni pasangan Prabowo-Hatta.

Prabowo-Hatta yang kalah dalam Pilpres 2014 agaknya dapat menganggap bahwa kekalahannya itu sebagai kemenangan yang tertunda. Sebagai pihak yang kalah, koalisi parpol yang mendukung Prabowo-Hatta bisa tetap konsisten untuk memilih berada di luar pemerintahan Jokowi-Kalla.

Namun, dengan pernyataan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan bahwa pihaknya membuka diri bagi parpol pesaingnya untuk bergabung bekerja sama dalam pemerintahan, parpol yang berkoalisi mendukung Prabowo-Hatta bisa saja memilih untuk menjadi bagian dari pemerintahan dan tak memainkan peran sebagai oposisi.

Terlepas dari pilihan mana yang akan ditempuh parpol pendukung Prabowo-Hatta, setidaknya dua parpol utama yang berada di bawah kendali Prabowo-Hatta, yakni Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional, layak menjadi parpol penyeimbang yang memainkan peran oposisi untuk mengontrol pemerintahan ketika sang penguasa menyimpang dari jalur kemaslahatan rakyat.

Dengan jalan mejadi oposisi inilah dari hari ke hari Prabowo dan Hatta bisa mengendalikan legislator-legislator dalam parpol yang mereka pimpin untuk bekerja sesuai dengan aspirasi rakyat ketika pemerintahan menjalankan kebijakan yang kurang prorakyat.

Peluang oposisi menjadi pemenang dalam Pilpres 2019 dapat dijalankan dengan kampanye riil melalui kinerja legislator-legislator oposan di parlemen.

Penguasa yang sedang berada di atas tampuk kekuasaan cenderung lalai dalam menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah. Apalagi, kebijakan pemerintah bisa saja dibelokkan untuk kepentingan kelompok tertentu dalam kekuasaan yang kadang tak terjangkau oleh perhatian presiden sebagai pucuk pimpinan politik.

Ambil saja kasus kebijakan pemerintah dalam hal ujian nasional. Pemerintah selama ini, yang diwakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, berjuang untuk mengamankan kepentingan-kepentingannya dengan mempertahankan proyek ujian nasional.

Padahal, di kalangan pengamat dan aktivis pendidikan dan di dunia maya, mayoritas kalangan masyarakat menghendaki dihentikannya ujian nasional. Atas desakan itu, Menteri pendidikan dan kebudayaan terpojok dan merestui penghentian ujian nasional.

Sayangnya, yang dihentikan adalah untuk jenjang pendidikan dasar, dan untuk jenjang pendidikan menengah dan atas, ujian nasional tetap dijalankan.

Dalam pandangan yang menentang ujian nasional, proyek itu hanya melahirkan tradisi plagiarisme, menghambur-hamburkan dana yang cukup besar dan menoleransi ketakadilan dalam sistem penilaian pendidikan.

Jika pemerintahan Jokowi-Kalla masih tetap mempertahankan ujian nasional, opisisi di bawah kepemimpinan Partai Gerindra dan PAN dapat mengeksploitasi persoalan ini sehingga masyarakat luas dapat menilai keberpihakan oposisi pada suara rakyat.

Isi kenaikan bahan bakar minyak yang menjadi perkara politik paling hangat saat ini juga bisa dijadikan medan melakukan pemihakan pada rakyat oleh kelompok oposisi.

Pemerintahan Jokowi-Kalla yang akan memulai menjalankan kekuasaannya setelah dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014, ada kemungkinan untuk menaikkan harga BBM untuk mengurangi beban subsidi negara. Seberapa besar angka kenaikannya, bisa dijadikan perkara pemihakan pada rakyat.

Saat ini terdapat pilihan-pilihan untuk mengatasi problem krisis BBM. Selain menaikkan harga hingga mencapai harga keekonomian premium, yakni berkisar pada harga Rp11.000,00, pilihan lain adalah memotong secara signifikan biaya perjalanan dinas, pengetatan pengawasan sehingga kebocoran anggaran bisa dicegah.

Pengeluaran yang tak terkoneksi secara langsung dengan kebutuhan rakyat seperti pengeluaran bidang pertahanan, misalnya pembelian alat utama persenjataan perang bisa dipangkas secara signifikan.

Pemerintahan Jokowi-Kalla dan oposisi dapat memainkan isu pembelian persenjataan sebagai medan pemihakan pada rakyat.

Konsistensi legislator-legislator kelompok oposisi di parlemen dalam memperjuangkan kebijakan dalam bentuk pembuatan undang-undang segala bidang yang prorakyat akan melahirkan citra positif di mata publik.

Pers akan menggaungkan citra positif dari pihak parpol oposisi itu sampai menjelang pemilihan umum presiden dan wakil presiden mendatang. Dengan kinerja dan citra kaum oposisi yang senantiasa menyuarakan kepentingan rakyat itulah maka masa-masa kampanye sebulan sebelum Pilpres 2019 hanya merupakan masa peneguhan semata.

Kinerja legislator oposisi selama lima tahun yang memperlihatkan konsistensinya pada pemihakan pada rakyat merupakan masa kampanye yang sebenarnya bagi kelompok oposisi untuk mengambil hati pemilih. Jika pemerintah takmampu mengimbangi kinerja oposisi dengan hasil kerja nyata yang dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak, peluang parpol oposisi untuk meraih kemengan akan terbuka lebar.

Satu hal yang paling penting, baik bagi kelompok yang memerintah maupun yang berada di jalur oposisi, adalah kemampuan kedua pihak untuk membersihkan kelompoknya dari aksi-aksi korup.

Rakyat akan menghukum pemerintahan yang korup maupun oposisi yang oportunistis korup untuk tidak memilih mereka. Jika keduanya korup, peluang terbuka bagi kekuatan politik lain untuk menangguk suara pemilih.

Para pengamat politik mengatakan bahwa salah satu kemerosotan jumlah pemilih pada Partai Demokrat yang memenangkan presiden yang diusungnya dalam Pilpres 2009 adalah persoalan korupsi yang menjebloskan tokoh-tokoh partai itu ke penjara.

Pengalaman buruk itu bisa dijadikan pelajaran berharga, baik bagi parpol yang berkoalisi dalam pemerintahan maupun koalisi parpol yang memilih di jalur kekuatan politik penyeimbang. AN-MB