Denpasar, (Metrobali.com)

Masyarakat Bali perlu berhati hati dan waspada terhadap politikus yang memiliki ciri berprilaku pragmatis transaksional, kepentingan sempit, dengan transaksi indikasi politik uang. Hal itu dikatakan pengamat politik dan ekonomi Jro Gde Sudibya, Kamis (6/4/23) menyikapi politikus gaya baru.

Dikatakan, sumber dana yang diberikan dan dijanjikan oleh karakter politikus seperti ini, bisa berasal dari dana negara formal yang di design untuk itu dan atau kemungkinan hasil dari korupsi kekuasaan.

“Targetnya peningkatan elektoral dan kemudian peraupan suara pemilih pada saat pemilu 2024,” katanya.

Menurut Jro Gde Sudibya, karakter politikus seperti ini tidak mengedepankan proses dan pendidikan politik, tidak membangun wacana politik yang cerdas dan tidak akan mau membentuk opini publik konstruktif untuk membangunan visi masa depan bersama yang lebih cerah.

Selanjutnya, kata Jro Gde Sudibya terjadi proses pembodohan politik yang masif, dengan iming-iming sumbangan, bantuan sosial (bansos) dan sejenisnya, tanpa pendidikan politik (pedagog politik), memanfaatkan pragmatisme dan ketidaktahuan masyarakat tentang politik bermakna.

Ciri lain politik elektoral ini, lanjut Sudibya meciptakan politik krumunan (political crowd) dalam pembagian remah-remah dana politik, dan menjadi basis rekrutmen politik yang “jauh panggang dari api” tentang kualifikasi kandidat legislatif mencakup: intelektualitas, kapabilitas dan juga rekam jejak. Yang berakibat munculnya anggota legislatif marginal (pas-pasan) dengan komitmen kepentingan publik yang rendah.

“Akibatnya kontrol legislatif terhadap ekskutif sangat lemah, dan punya potensi melakukan aliansi keduanya yang merugikan kepentingan publik” katanya.

Dikatakan, akan terjadi jebakan Batman dalam politik, terjadi tipu menipu, siapa dapat apa dalam transaksi yang cepat (quick yeilding).
Akibatnya siklus politik 5 tahun yang menguras dana publik yang sangat besar, dan menguras sumber daya nasional yang juga besar, tidak melahirkan perubahan significan (dari perspektif kepentingan massa rakyat), justru bisa sebaliknya kualitas demokrasi merosot, kesenjangan pendapatan semakin menganga dan ketidakadilan sosial semakin tinggi.

“Sudah semestinya masyarakat semakin “ngeh” dan semakin cerdas dalam menyikapi “jebakan” politik uang dan janji-janji “angin surga” yang sebatas fatamorgana (khayalan yang tidak pernah menjadi kenyataan),” kata Jro Gde Sudibya.

Dia mengatakan, Gubernur Koster akibat penolakannya terhadap kontingen Israel dan berakibat pembatalan turnamen sepak bola U20 di Indonesia, dikhabarkan di kelompok seberang sana diberikan predikat negarawan. Padahal sejarah panjang kebangsaan di negeri ini, sejak Pemilu tahun 1955, Bali adalah basis bagi kekuatan nasionalis religius sampai detik ini.

” Akibat kecerobohan Koster, brand politik Bali yang nasionalis religius dan masyarakatnya yang toleran dan ramah secara kultural menjadi tercoreng dan ternodai. Bagaimana Gubernur Koster mempertangjawabkan keputusan kontroversial ini ke masyarakat Bali?” kata Jro Gde Sudibya. (Adi Putra).