MASALAH SARA DAN KASUS INDOSIAR
Desakan berbagai elemen masyarakat Hindu di seluruh Indonesia agar tayangan sinetron sembilan wali dihentikan di Indosiar, kini terjawab sudah. Tayangan tersebut berdasarkan kesepakatan dalam sidang mediasi di KPI Pusat, dalam rangka klarifikasi tersebut menghasilkan kesepakatan, bahwa sinetron tersebut dihentikan penayanganannya mulai sejak tanggal 8 Agustus 2012. Jawaban tersebut sebagai klimaks dari banyaknya kekecewaan masyarakat terhadap tayangan tersebut. Bahkan pressure masyarakat yang diperkuat dengan sanksi teguran tertulis sebanyak dua kali dari KPI D Bali dituntaskan melalui sidang mediasi di KPI Pusat.
Sensitivitas SARA
Sesungguhnya, kalau Indosiar berhati-hati dan memiliki standar kerja dalam stasiun tersebut menurut pengamatan kami, lebih dominan disebabkan oleh lemahnya pemahaman lini produksi televisi dalam memahami nilai-nilai SARA(Suku,Ras,Agama, Ras dan Antar Golongana ) yang hidup di Nusantara. Dalam kehidupan bangsa yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika atau dalam kekinian disebut dengan prluralisme, tentu diperlukan kesadaran baru tentang pentingnya untuk memahami aspek pluralisme bangsa serta internalisasi nilai-nilai yang hidup di dalamnya, sebelum mengadopsi sebuah cerita ke media penyiaran. Sensitivitas itu sangat dibutuhkan, sehingga krew produksi mampu menangkap hal – hal yang profan(duniawi) dan juga hal-hal yang sakral yang menjadi dimensi lain sebuah cerita tersebut, yang sering berhubungan langsung dengan loyalitas emosional, dan spiritual masyarakat di Nusantara. Negara kita memang kaya dengan potensi seni dan budaya masyarakatnya, yang dapat dieksplore menjadi berbagai jenis karya seni, termasuk di dalamnya adalah karya seni audio visual atau sinetron . Tetapi semua itu perlu langkah yang lebih taktis, teknis dan setrategis, sehingga out put cerita tersebut apabila kemudian disajian kepada masyarakat tidak menyulut disharmoni, conflict dan disintegrasi sosial.
Meningkatkan Pemahaman Produksi.
Dalam mengeksekusi khasanah tersebut sangat diperlukan hadirnya tokoh-tokoh dan pakar – pakar pada bidang cerita yang akan diangkat kelayar kaca. Jika kalau cerita tersebut mengandung genre konflik, pilihan untuk menghadirkan pakar dan tokoh dari pihak-pihak adalah sebuah keniscayaan. Sebagai bagian dari sistem risert dalam tahapan pra-produksi, perlu detail memetakan data dan fakta serta keterlitaban para tokoh sebagai sebuah presisi, yang menggambarkan apakah sebuah cerita layak, boleh,aman untuk diangkat ke ruang publik melalui media penyiaran. Berdasarkan pengalaman kami, tahapan pra-produksi perlu memasukkan agenda risert secara mendalam terhadap sebuah obyek cerita, sehingga lebih awal dapat memprediksi terhadap kemungkinan apa yang perlu atau tidak dilakukan , serta dapat mempertimbangkan tingkat probabilitas munculnya dampak merugikan atau gesekan yang mungkin timbul dengan masyarakat yang masih meyakini dan menganut nilai-nilai yang dieksplor ke dalam cerita tersebut. Jadi dalam hal ini, sangat diperlukan sensitifitas produser, sutradara, penulis cerita, hingga krew yang terlibat dalam produksi audi visual, yang nantinya disajikan untuk masyarakat luas.
Kita menyadari, bahwa materi tayangan televisi tidak seluruhnya diproduksi secara in house production oleh lembaga penyiaran. Dalam hal ini, televisi banyak disuplay program oleh production dari luar , misalnya dari rumah produksi atau production house (PH). Walaupun demikian, itu bukan satu alasan, bahwa ketidak telitian dalam produksi boleh dilakukan. Sebelum memproduksi suatu karya adua visual, pastilah ada tahapan yang harus dilalui, yakni pra-produksi, produksi, dan pasca produksi. Masing – masing tahapan tersebut merupakan satu phase, dimana editting sebagai bagian dari mekanisme dalam tahapan tersebut harus dilaksanakan. Itu merupakan mekanisme sistem sensor internal dari sistem produksi, yang dipersyaratkan oleh Pasal 55 ayat 3, Peraturan KPI No.2 tahun 2012. mulai dari pra,hingga pasca produksi (tayang di televisi) dapat terus dilakukan. Sensor bisa dimulai sejak penulisan naskah, skenario, dialog, narasi, adegan(acting)hingga editting yang dilakukan di ruang editor audio visual dengan selalu mempedomani diri dengan Pedoman Prilaku Penyiaran(P3), Standar Program Siaran(SPS), Undang-undang 32/2002 tentang Penyiaran dan bentuk norma lainnya yang memang masih dianut oleh masyarakat.
Menguatkan Pemahaman Yuridis.
Pemahaman yuridis tersebut juga menjadi sesuatu yang urgent bagi pengelola dan praktsi penyiaran. Berdasarkan kesadaran kita bersama, bahwa di dalam tertib negara hukum (rechtstaat) tidak ada yang dapat terbebas dari sistem aturan, tata nilai, dan norma – norma yang mengikat kehidupan kita(sociale binding). Kebebasan dalam bentuk hak serta kewajiban adalah sebuah antinomi, yang sering belum kita pahami secara baik dan benar. Sehingga dalam upaya mengimplementasi kebebasan atau hak , kita sering lupa mempertimbangkan tanggungjawab dalam bentuk kewajiban-kewajiban yang harus kita taati demi menjaga hak-hak orang lain.
Adagium tersebut juga berlaku bagi dunia penyiaran. Sebagai bentuk pranata sosial,lembaga penyiaran, para praktisi, dan pengelolanya juga secara imperatif harus memahaminya. Penggunaan frekwensi sebagai ranah publik, membebankan kewajiban kepada lembaga penyiaran agar bersiaran secara bertanggungjawab sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran nasional yang diamanatkan oleh Undang-undang Penyiaran. Dalam setiap kebebasan menjalankan hak berdemokrasi dan berinformasi, didalamnya juga terkandung kewajiban untuk menjaga kemaslahatan publik. Segala norma yang mengikat kehidupan lembaga penyiaran, juga harus dihapami dengan baik, sehingga apa yang dilakukan selalu mengacu kepada ketentuan yang ada.
I Wayan Yasa Adnyana, SH.MH.
6 Komentar
Saya yakin “orang-orang” di Indosiar bukan tamatan “sekolah rendah”, mereka pintar2 dan tahu apa yg diperbuat dg sadar… Tapiii…..krn urat pola fikir jernih serta urat hati nuraninya sudah pada “PUTUS”…..maka tak lagi bisa mikir apa itu Bhineka Tunggal Ika…apa NKRI…udah terhapus dari benaknya….***
Masih tayang pak,, ktanya cm dihentikan siarannya di pulau bali sj
Sampai dengan hari ini masih tayang di Jakarta. Bagaimana ini???
Makanya penting untuk mendorong UU penghormatan dan perlindungan masyarakat lokal/adat. Walau semua itu sebenarnya sudah diatur di konstitusi kita, maupun UU lainnya.
Dan KPI melakukan pengawasan dan teguran, karena dalam berkas proposal permohonan perijinan TV Lokal/ TV nasional yang berjaringan, semua menyatakan komit dan mendukung nilai-nilai kearifan budaya lokal, norma, dan etika yg hidup ditengah-tengah masyarakat. Termasuk kode etik jurnaslitik.
Jadi dalam posisi ini sebenarnya KPI hanya menjalankan fungsi dan tugasnya agar lemabaga penyiaran Patuh dan konsiten terhadap VISI dan MISI saat disampaikan dihadapan masyarakat saat dialukukannya Evaluasi Dengar Pendapat.
Sebabai warga bangsa yang pluralis, tiap saat kita harus belajar hidup dalam kesadaran Bhineka Tunggal Ika, agar negeri ini mencapai kejayaan. Kami dari KPI D Bali memang tidak serta dapat langsung memberi sanksi dan masukan untuk mengontrol siaran di Seluruh Indonesia. Berdasarkan kewenangan yang diberikan UU 32 /2002 tentang penyiaran, yurisdiksi atau wilayah hukum sebaga lokus deliktinya hanya di daerah Bali, sehingga pengawasan penyiaran di Bali menjadi tugas pokok kami dari KPI D Balil, walaupun demikian, kami akan meneruskan masukan saudara-saudara ke KPI Pusat, kalau memungkinkan agar masukan bapak/ibu tersebut diapresiasi secara nasional. Marilah kita awasi penyiaran secara bersama-sama sehingga penyiaran dapat memberikan manfaat lebih besar bagi seluruh masyarakat. Terimakasih atas perhatian dan kerjasamanya.
terlalu banyak menyudutkan budaya nya sendiri sebagai salah satu tv swasta Indoinesia,jadi untuk apa di izinkan siar di Indonesia,kalo memang hanya bali yg mengeluarkan protes dan protek pelurusan sejarah lebih baik TV INDOSIAR JANGAN DI IZINKAN siar di bali.kita lihat selain bali mereka tertawa dgn pengecohan sejarahnya sendiri tanpa mereka sadari,,,,,,,kalo mereka sadar tak mungkin negara ini seperti sekarang,,,,jangan kan dibawah buktinya di atas sampai hal ini lulus SENSOR,,saya sebagai orang INDONESIA sungguh tak bisa di percaya ,,,apa mereka BUTA MATA , BUTA HATI ato BUTA SEJARAHNYA sendiri,,hingga buta BUDHI PEKERTI, ato memang sudah di butakan oleh uang dan kedudukan,,,,,
salam BUTA