ari-dwipayana

Jakarta (Metrobali.com)-

Dalam proses rekapitulasi penghitungan suara Pemilu Presiden 2014 tingkat nasional, kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dinilai telah memainkan manuver politik yang berbahaya.

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (21/7), mengatakan, ada dua manuver yang dilakukan dan cukup berbahaya bagi demokrasi di Indonesia.

“Pertama, kubu Prabowo-Hatta meminta penghentian rekapitulasi suara yang sedang berlangsung, dan selanjutnya meminta rekapitulasi suara nasional oleh KPU ditunda,” katanya.

Kemudian manuver kedua yang juga berbahaya adalah kubu Prabowo-Hatta mengancam akan melaporkan KPU ke ranah hukum, dan bukan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), jika tidak menunda rekapitulasi perolehan suara.

“Dua manuver itu cukup berbahaya. Karena langkah tersebut tidak sesuai dengan pernyataan mereka yang disampaikan ke publik sebelumnya, bahwa mereka siap kalah dan siap menang, serta akan menghormati apa pun keputusan KPU,” kata Ari.

Menurut dia, tuntutan untuk menghentikan dan menunda proses rekapitulasi suara dengan alasan apa pun tidak bisa diterima, baik dalam perspektif hukum maupun politik, karena pemungutan suara telah dilakukan serta berjalan baik, serta proses rekapitulasi sudah dilakukan berjenjang dari bawah hingga ke atas.

“Langkah ini jelas upaya mendelegitimasi KPU, dan implikasi politiknya cukup berat, yakni menolak hasil pilpres yang ditetapkan KPU. Seharusnya kubu Prabowo-Hatta mengikuti aturan main bahwa jika tidak puas terhadap proses dan hasil pemungutan suara, bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Itu pun harus jelas apa yang sedang disengketakan,” kata Ari.

Dalam proses berjenjang itu, kata dia, sejak dari tingkat terbawah, setiap pasangan calon bisa mengajukan keberatan dan koreksi atas proses maupun hasil pemungutan suara.

“Kemudian setelah sampai di atas, penghentian atau penundaan yang diajukan menjadi aneh,” katanya.

Ia menambahkan, sistem demokrasi dan tahapan pilpres yang berjalan saat ini sudah cukup adil, karena semua elemen masyarakat dapat ikut mengawal perolehan suara capres.

“Sistem berjenjang ini memungkinkan untuk koreksi proses di setiap tingkatan. Bahkan Bawaslu yang memiliki kewenangan pengawasan tidak menemukan kecurangan seperti yang disampaikan kubu Prabowo-Hatta,” ujarnya.

Mengenai daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb), kata Ari, bukan sebuah kecurangan, karena menyangkut dokumen yang perlu diklarifikasi atau di-kroscek.

“Jadi, upaya untuk menggiring opini soal DPKTb sebagai kecurangan atau mobilisasi suara adalah berlebihan, karena bisa pemilih di DKPTb di TPS adalah juga pemilih pasangan Prabowo-Hatta,” tandas Ari. AN-MB