Oleh I Nyoman Wija, SE, Ak. *

MASA depan kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali sangat ditentukan oleh seberapa jauh masyarakatnya memiliki kesungguhan, kejujuran, kecermatan, kehati-hatian, dalam merajut semua jaringan dari sosial media yang penting dan relevan bagi upaya pelestarian dan pengembangannya secara lokal, nasional dan dunia. Mengingat bahwa kebudayaan terkonstruksi dari bangunan nilai dan perilaku masyarakat dalam memaknai kebiasaan dari rutinitas keseharian hidupnya secara sistemik dan berkelanjutan sesuai peradaban kehidupan berbangsa dan bernegara dalam era globalisasi masyarakat dunia yang pluralistik dan multikulturalisme berlandaskan UUD’45 dan Pancasila dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Adalah konstruksi kebudayaan bangsa khususnya kearifan lokal khas Bali dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) yang telah digagas sejak 1979 silam oleh mendiang Ida Bagus Mantra sebagai bagian paling penting dari indikator utama dan sangat vital dalam upaya strategis dan langkah konkret untuk membangun fondasi toleransi masyarakat yang memuliakan dan mengagungkan nilai adiluhung ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali, sebagai jati diri dan kepribadian bangsa secara lokal, nasional, dan internasional.

Konstruksi PKB tersebut bertujuan untuk menguatkan pentingnya perilaku saling menyayangi tanpa ada sikap dan perbuatan diskriminasi antara etnisitas masyarakat dari kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas. Artinya, mampu paras-paros dalam dinamika kebersamaan bermasyarakat dan berbangsa, serta bernegara dalam bingkai persatuan dan kesatuan Ke-Indonesia-an dan khususnya Ke-Bali-an yang dijiwai ajaran Hindu dengan konsep Tri Hita Karana.

Dalam konteks tersebut, menyiasati keadaan dan sekaligus menyikapi kreativitas kreatif inovatif kalangan seniman berarti konstruksi PKB ke-34 tahun ini sudah semestinya mampu tampil terdepan dalam mengembangkan budaya demokrasi dengan fondasi toleransi saling menyanyangi secara sistemik dan berkelanjutan. Sebagai upaya manuver politik citra budaya PKB tanpa kekerasan dan rekayasa atas kebodohan, ketidaktahuan, irasionalitas, serta hegemoni persekusi etnisitas masyarakat dari kelompok tertentu dalam ekologi desa pekraman.

Dengan demikian, kebudayaan bangsa dapat mengatasi aspek struktural (mekanisme rasional) dalam mengikis habis budaya dokrinisasi berbasis paham ideologi radikalisme yang menghalalkan beragam cara dengan melabrak hukum negara hingga mengabaikan kepentingan publik demi kepentingan keuntungan (profit) belaka dan cenderung bersifat fundamentalisme individualistik bergaya materialisme serta konsumerisme yang dipicu oleh ideologi kapitalisme global.

Dalam kata lain, kekuatan modal selalu tampil sebagai alat kolusi kekuasaan dalam menentukan kebijakan terhadap rekayasa beragam proyek publik yang berorientasi kepentingan profit belaka, sehingga menciptakan kondisi ketergantungan bagi masyarakat dalam mengapresiasi beragam kearifan budaya lokal khas Bali dalam konstruksi PKB selama ini. Akibatnya, “virus klasik” seperti kemacetan, pasar malam atau pesta dagang, kesemrawutan, perilaku premanisme, serta lemahnya kinerja dan etos kerja dan sistem managemen serta lainnya dalam konstruksi PKB semakin tumbuh menjadi “kanker ganas” dan berbahaya (ancaman) bagi kehidupan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dalam konstruksi citra budaya PKB masa kini, dan akan datang.

 

Krisis Etos dan Etik

 

Keadaan ini pun semakin memudarkan etalase politik pemaknaan dalam penajaman nilai filsafat dan teks sastra sebagai upaya penghalusan budi pekerti dan kesantunan yang dapat berfungsi untuk mengikis habis pohon konflik dan kekerasan vertikal dan horizontal hingga keakar-akarnya dalam konstruksi PKB di tengah dinamika tuntutan masyarakat dan kekuatan sosial yang demokratis. Selain itu, termasuk pula di antaranya tawuran pelajar, kekerasan mahasiswa, kanibalisme intelektual, pertarungan antargeng, perang suku, kekerasan antarkelompok agama, kekerasan lintas partai, kekerasan aparat, kesepekang, serta pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM) lainnya.

Jika realitas budaya intoleransi itu dibiarkan tanpa ada tindakan tegas dan komitmen kuat dari para elite penguasa pemangku kebijakan dalam membangun fondasi keadaban budaya yang mampu mendorong individu atau kelompok tertentu dalam ekologi desa pekraman untuk mengubah paradigma berpikir kritis menuju terciptanya budaya publik yang sehat, jujur, santun, dan toleran terhadap nilai kebersamaan sudah dapat dipastikan secara perlahan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali semakin kehilangan ruh dan taksunya.

Ini berarti kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dalam konstruksi PKB berarti secara perlahan telah mengalami penghancuran secara struktural yang sistemik dan berkelanjutan. Kenapa ? Karena para elite penguasa pemangku kebijakan kini semakin terjebak ataupun turut hanyut dalam strategi melayani hasrat citra dan pencitraan berbiaya tinggi serta tak punya waktu untuk mengurusi kebenaran, kejujuran, dan kesejahteraan, sehingga mendorong lahirnya relasi kekuasaan otoriter yang korupsi. Di mana para elite eksekutif kurang profesional dalam memuliakan kekuasaannya, para elite legislatif asyik bercengkrama dengan dirinya sendiri, serta para elite yudikatif terkesan sibuk mengumpulkan harta kekayaan dalam “pesta demokrasi” pencitraan. Sungguh ironis sekali, bukan.

Keadaan ini dalam pandangan sastrawan Paramudya Ananta Toer menegaskan bahwa budaya korupsi sebagai tindakan tidak produktif dalam mengelola kekuasaan. Lemahnya etos dan etik bangsa terutama para penyelenggara negara sebagai faktor determinan atas merebaknya budaya korupsi. Akibatnya, budaya korupsi bukan dianggap sebagai tindakan persekongkolan kejahatan, melainkan sebagai kreativitas memanfaatkan peluang atau kesempatan dari kekuasaan untuk kepentingan keuntungan individu ataupun kelompok tertentu dengan memotong akses kesejahteraan dan membajak nasib publik, khalayak masyarakat secara luas.

 

Kritisi Media

 

Celakanya, politik ekonomi media massa (pers) seringkali terjebak perilaku represif para elite penguasa pemangku kebijakan sebagai jalan instan politik revolusioner menuju kekuasaan atau membangun manuver politik pencitraan dalam mengilusi publik, dan mengganjal kesadaran kritis publik, serta membodohi publik demi kepentingan hasrat citra dan keuntungan individu atau kelompok tertentu. Langkah manuver politik citra budaya berbasis kesantunan ini bahkan telah terbukti mampu melumpuhkan kesadaran dan komitmen dalam membangun fondasi toleransi masyarakat secara berkeadilan dan menyejahterakan.

Akibat lain yang tak kalah strategis adalah fakta bahwa hegemoni persekusi etnisitas masyarakat dari kelompok tertentu dalam ekologi desa pekraman semakin berjaya dan berkuasa karena merasa terlindungi faktor kekuatan dari oknum para elite penguasa pemangku kebijakan. Padahal, dalam logika publik dan etika rasional intelektual telah nyata-nyata mencederai keagungan atas tata nilai adiluhung kebudayaan bangsa dalam konstruksi PKB selama bertahun-tahun. Ini karena terjadi pembiaran secara berkelanjutan hingga tumbuh menjadi budaya salah kaprah di tengah kehidupan masyarakat.

Di samping itu, seringkali terjadi perilaku mobilisasi massa hingga melebihi kapasitas panggung hanya untuk menunjukkan gengsi kepemimpinan dan egoisme dari otonomi kedaerahan terhadap fanatisme dari kearifan lokal. Selain itu, proyek salah kaprah dan mubazir yang menelan dana publik dalam alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Bali hingga mencapai angka miliaran rupiah pun semakin tumbuh subur dan menjamur. Tak pelak, konstruksi PKB dianggap gagal sebagai media edukasi publik yang mencerdaskan, dan mencerahkan serta menyejahterakan.

Jika merunut beragam persoalan klasik dalam kontruksi PKB selama ini, yang terpenting adalah upaya strategis dan langkah konkret untuk berbenah diri, mulai dari para elite penguasa pemangku kebijakan, kalangan seniman, kaum intelektual, budayawan, dan khalayak publik, terutama masyarakat pencinta seni budaya Bali. Artinya, harus berani melakukan kebijakan perubahan ekstrem dengan kesadaran dan komitmen bersama dalam menciptakan keteraturan, ketaatan, dan kepatuhan terhadap implementasi konsep kemurnian dari konstruksi seni budaya dalam PKB sebagai indikator utama membangun fondasi kebudayaan bangsa demi penguatan jati diri dan kepribadian bangsa.(*)

 

*) Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer sebuah Media Harian di Bali, yang juga Aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya dan Karyasiswa Kajian Budaya Unud Denpasar.