Aksi protes di luar Mahkamah Agung Inggris di London, 24 September 2019.

Mahkamah Agung Inggris, Selasa (24/9) menetapkan bahwa keputusan Perdana Menteri Boris Johnson untuk membekukan parlemen selama lima pekan menjelang tenggat keluarnya negara itu dari Uni Eropa (Brexit) adalah melanggar hukum.

Putusan yang diambil Mahkamah Agung dengan suara bulat itu menyatakan perintah untuk membekukan parlemen “batal dan tidak berlaku.”

Putusan bersejarah itu segera mendorong seruan agar Johnson mengundurkan diri.

“Posisinya tidak dapat dipertahankan dan ia harus memiliki keberanian untuk melakukan hal yang tepat dan mengundurkan diri,” kata legislator Partai Nasional Skotlandia Joanna Cherry di luar pengadilan.

Ketua Mahkamah Agung Brenda Hale mengatakan pembekuan itu “melanggar hukum karena memiliki efek menggagalkan atau mencegah kemampuan parlemen untuk melaksanakan fungsi konstitusionalnya tanpa alasan yang masuk akal.”

Ia mengatakan dengan putusan pengadilan itu berarti parlemen tidak pernah dibekukan secara legal dan secara teknis masih berfungsi.

Ketua Majelis Rendah John Bercow mengatakan dalam pernyataan tertulis bahwa putusan itu “mempertahankan hak dan kewajiban parlemen untuk bersidang pada masa-masa yang sangat penting ini untuk mencermati eksekutif dan meminta pertanggungjawaban para menteri.”

Ia mengatakan para anggota parlemen “harus bersidang tanpa ditunda lagi.” Untuk itu, ia akan berkonsultasi dengan para pemimpin partai mengingat masalahnya yang mendesak.

Di negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis ini, kasus tersebut menandai konfrontasi yang jarang terjadi antara perdana menteri, pengadilan dan parlemen mengenai hak dan kewajiban mereka. [uh/ab] (VOA)