Foto: Pengamat kebijakan publik dan advokat senior yang dijuluki Panglima Hukum Dr.(c) Togar Situmorang, S.H., M.H., M.A.P.

Denpasar (Metrobali.com)-

Pemberitaan di berbagai media masa tentang pasal-pasal krusial revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP khususnya yang terkait tentang perzinahan telah menimbulkan keresahan di kalangan wisatawan/pelaku pariwisata yang sedang dan akan berlibur ke Indonesia khususnya Bali.

Bahkan banyak wisatawan yang sudah melakukan pembatalan kunjungan ke Bali karena takut akan ditangkap dan dipidanakan jika tidak mampu menunjukkan surat nikah. Walaupun sebenarnya RUU KUHP ini belum disahkan pemerintahan dan kini telah disepakati ditunda pengesahannya.

Menyikapi hal ini, pengamat kebijakan publik yang juga advokat senior Dr.(c) Togar Situmorang, S.H., M.H., M.A.P., menegaskan jika pasal-pasal kontroversial tersebut nantinya dipaksakan disahkan maka akan jadi ancaman besar bagi pariwisata Indonesia termasuk Bali. Malah bisa saja akan melumpuhkan dan mematikan pariwisata Bali.

“Jika RKHUP itu lolos maka aturan tersebut justru akan melumpuhkan dan mematikan perkembangan pariwisata Indonesia khususnya juga Bali,” kata Hukum Togar Situmorang ditemui di kantornya Law Firm Togar Situmorang & Associates, Jalan Gatot Subroto Timur nomor 22 Denpasar, Senin (24/9/2019).

Seperti diketahui RKUHP yang saat ini sedang menjadi polemik di Negeri ini juga menjadi hal yang buruk bagi Pariwisata di Bali. Salah satunya terkait Pasal Perzinahan yang dinilai terlalu masuk dalam ranah pribadi masyarakat.

Togar Situmorang yang dijuluki Panglima Hukum ini menambahkan, di dalam pasal tersebut diatur soal hukuman bagi pasangan yang tidak menikah namun kedapatan tinggal bersama. Hal tersebut bisa dilaporkan ke Polisi dan pelakunya dapat dikenai hukuman berupa denda hingga penjara.

Meskipun sifat pasal itu merupakan delik aduan yang absolut, yang tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari pihak suami istri atau anak yang dipermalukan, namun Pasal Perzinahan dalam RKUHP tersebut ternyata membuat sejumlah turis asal negara luar menjadi enggan berlibur ke Bali.

“Ini tentunya sangat berbahaya bagi pariwisata,” tegas advokat yang terdaftar di dalam 100 Advokat Hebat versi majalah Property&Bank ini.
Para turis asal Australia contohnya, mereka merasa keberatan jika harus menunjukkan surat menikah sebelum memesan kamar ketika berlibur di Bali.  Mereka tidak lagi berani untuk berkunjung ke Bali karena mereka belum menikah

“Pemilik-pemilik restoran dan penginapan di Bali mengaku sudah banyak menerima pembatalan dari turis mancanegara karena adanya wacana RKUHP tersebut,” kata advokat yang terdaftar di dalam penghargaan Indonesia 50 Best Lawyer Award 2019 ini.

Togar Situmorang yang juga Dewan Penasehat Forum Bela Negara Provinsi Bali juga mengingatkan bahwa Bali pernah mengalami dua kali pengeboman, berbagai bencana alam. Apalagi jika Pemerintah pusat menegakkan aturan hukum seperti itu, sektor Pariwisata akan hancur.

“Pengaturan dan penerapan Pasal Perzinahan yang bisa jadi pasal karet ini bisa saja efeknya dan daya destruktifnya bagi pariwisata lebih besar ketimbang Bom Bali,” tegas Togar Situmorang yang juga Managing Partner Law Office Togar Situmorang & Associates yang beralamat di Jl. Tukad Citarum No. 5A Renon Denpasar Bali & Jl. Gatot Subroto Timur No. 22 Denpasar Bali.

Pelaku Pariwisata Bali Tolak Pasal-Pasal Bunuh Pariwisata

Sebelumnya Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) yang juga Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Balimenegaskan, insan pariwisata Bali tidak sekedar mendukung penundaan tersebut.

Namun sekaligus akan mengajukan penolakan secara tertulis terhadap sejumlah pasal yang dinilai mengganggu kepariwisataan Bali.

Apalagi menurutnya hal itu telah memunculkan adanya sejumlah warning atau peringatan dari luar negeri agar warga negara mereka menghindari mengunjungi Bali. Misalnya dari Australia yang pula tak tertutup kemungkin disusul oleh negara lainnya.

“Kami dari insan pariwisata sangat konsen menjaga lariwisata Bali, untuk itu akan mengajukan usulan revisi tertulis kepada parlemen (DPR RI) atas beberapa pasal yg dinilai dapat berdampak negatif kepada pariwisata Bali khususnya,” ujarnya di Denpasar, Sabtu (21/9)

Pasal-pasal krusial dan kontroversial yang bisa melumpuhkan pariwisata di antaranya adalah bab pasal bagian perzinahan, yakni pasal 417 dan 419 RKUHP. Pasal ini dalam implementasinya akan sangat menyentuh ranah private masyarakat.

Ini tentu mengkhawatirkan wisatawan asing karena KUHP Indonesia menganut azas Teritorial seperti yg termaktub dalam pasal 2 KUHP yang berlaku saat ini.

Yang artinya setiap orang tidak peduli warga negara apapun yang diduga melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia, otomatis akan tunduk pada hukum Pidana Indonesia.

“Hal ini tentunya akan membuat para wisatawan berpikir dua kali untuk berwisata ke Indonesia. Karena bila RKUHP berlaku tentunya pasal-pasal seperti yg disebutkan tadi dapat saja akan menjadi ancaman bagi mereka,” terang Cok Ace..

Selain itu juga pasal 432 RKUHP yang kurang lebih berbunyi, “…… wanita pekerja yan pulang malam bisa dianggap sebagai gelandangan….dan seterusnya”.

Padahal  lanjut dia dalam dunia industri pariwisata tidak tertutup kemungkinan pekerja wanita pulang malam karena tuntutan pekerjaan dan pelayanan dalam dunia pariwisata.

“Tentu saja ini sangat mengganggu bisnis pariwisata, karena akan terbatas pada jam malam,” tegasnya.

Hal ini kata dia, juga secara hukum bertentangan dengan Undang -Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Kesetaraan Gender, dan pula bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamakan Gender dalam Pembangunan Nasional.

“Keberatan detailnya akan diajukan secara rinci dan khusus kepada parlemen oleh insan pariwisata dalam waktu dekat ini,” sebutnya.

Upaya Wujudkan Negara Adikuasa?

Sementara itu Togar  Situmorang menambahkan, upaya meloloskan RKUHP oleh DPR dan Pemerintah yang dimana di dalamnya banyak pasal-pasal krusial dan kontroversi yang telah ditolak banyak elemen masyarakat, dapat dibaca sebagai sebuah ikhtiar mewujudkan Negara adikuasa dalam memperlakukan rakyatnya sendiri.

Pasalnya mengapa DPR dan Pemerintah menyibukkan diri mengatur sanksi untuk pelanggaran remeh atas kelalaian Rakyat yang membiarkan unggas peliharaan berkeliaran di tanah milik orang lain di denda maksimal 10 juta? (pasal 278) sebagai salah satu contohnya.

Jauh sebelum Negara ini berkembang, Rakyat Indonesia telah memiliki budaya, kearifan lokal dan pranata sosial yang bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan remeh seperti itu sesuai dengan nilai budaya masing-masing.

Di Bali sendiri, perkara seperti itu dapat diatasi oleh para tokoh adat, atau jika dianggap lumayan serius, bisa dibawa ke dalam forum Banjar”, kata Togar Situmorang yang juga Ketua Pengkot POSSI (Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia)) Denpasar ini.

Upaya negara mencampuri urusan pribadi masyarakatnya sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa Pasal dalam RKUHP tersebut juga dinilai akan menjadi legitimasi tambahan berbagai kelompok yang selama ini gemar mencampuri urusan pribadi orang lain.

“Berbagai konsekuensi serius juga akan mengancam eksistensi kita sebagai negara plural akibat kenaifan Pemerintah yang hendak mengatur urusan-urusan pribadi warganya,” jelas Togar Situmorang, advokat yang juga terdaftar di dalam penghargaan Best Winners – Indonesia Business Development Awards.

Jadi Pemerintah harus berhenti berpretensi memposisikan rakyatnya sebagai kumpulan orang-orang tak beradab dan tak bermartabat sehingga merasa tak perlu mengatur semua urusan mereka.

“Karena apabila hal tersebut terus berlanjut, Negara akan menjadi fasilitator berbagai distorsi keharmonisan sosial masyarakatnya sendiri,” imbuh Togar Situmorang yang juga Ketua Komite Hukum RSU dr. Moedjito Dwidjosiswojo Jombang Jawa Timur.

Kententuan-ketentuan hukum seperti itu dengan mudah akan menjadi alat bagi sesama warga untuk saling menghakimi baik karena kebencian, persaingan bisnis atau berbagai motivasi lain.

Walaupun Presiden telah mememutuskan menunda (bukan membatalkan) pengesahan RKUHP tersebut, gerakan penolakan harus terus digaungkan. Sebab  belum ada pernyataan sedikitpun bahwa Pemerintah memahami keresahan publik atas berbagai konsekuensi serius yang akan ditimbulkan jika RKUHP tersebut resmi disahkan menjadi aturan hukum yang baru.

Paling miris, semua Undang-Undang yang tengah disusun dan direvisi itu, mengabaikan masukan-masukan dari Rakyat. Hal ini memperlihatkan bahwa para elite politik merasa lebih tahu dan merasa lebih berhak untuk menentukan jalannya Bangsa dan Negara.

“Sayangnya, mereka tidak lebih tahu dan tidak lebih bijak,” tutup Togar Situmorang, Panglima Hukum yang punya komitmen “Melayani Bukan Dilayani” ini dan kerap memberikan bantuan hukum gratis bagi masyarakat kurang mampu dan tertindas dalam penegakan hukum.

Dikritik Media Asing

Seperti diberitakan sejumlah media, Pemerintah bersama DPR akhirnya sepakat mengusulkan untuk menunda pengesahan RKUHP karena banyaknya pasal yang kontroversial dan dinilai oleh sejumlah kalangan bisa mengancam demokratisasi di Indonesia.

Tak hanya itu, sejumlah pasal dalam RKUHP juga dinilai dapat mengganggu kepariwisataan Bali. Bahkan sebelum diberlakukan telah muncul sejumlah warning atau peringatan dari pemerintah negara asing agar warga negaranya berhati-hati berkunjung ke Bali dengan kemungkinan disahkannya RKUHP.

Misalnya situs peringatan perjalanan yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT). Bahkan sejumlah media massa terkemuka dari Negeri Kangguru dalam pemberitaan mereka menyarankan warga Australia agar menghindar untuk mengunjungi Pulau Dewata. Peringatan serupa tak tertutup kemungkin juga bisa menyusul datang dari negara lain. (wid)