HAMPIR setiap penutupan pelaksanaan konstruksi Pesta Kesenian Bali (PKB) selalu diselingi dengan penyerahan penghargaan dan hadiah bagi para pemenang lomba mulai dari lomba menggambar, lomba kerajinan, lomba nyastra, hingga lomba karya tulis. Ragam kegiatan ini sebagai langkah konkret dan strategis meningkatkan peran serta khalayak publik dari berbagai kalangan masyarakat luas dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali.

Ironisnya, maksud baik dan mulia ini sepertinya belum sepenuhnya dapat direalisasikan secara konkret dan transparan, serta akuntabel. Pasalnya, panitia penyelenggara kegiatan lomba khususnya dalam bidang karya tulis, misalnya, terkesan tidak serius dan semakin tidak profesional. Bahkan, kegiatan lomba karya tulis ini hanya terkesan sekadar ada sebagai pelengkap dari masalah klasik PKB selama ini, yang telah menjadi rahasia umum dicap sebagai ajang para elite penguasa pemangku kebijakan untuk bagi-bagi proyek berorientasi keuntungan (profit) belaka.

Padahal, sejatinya pelaksanaan konstruksi PKB setiap tahun selalu terkendala masalah cekak dana atau minim dana operasional. Faktanya, para seniman yang turut berpartisipasi aktif secara totalitas dengan semangat ngayah tulus iklas tanpa pamrih dalam konstruksi PKB ke-34 tahun ini cenderung belum mendapatkan apresiasi positif serta penghormatan secara layak dari Dinas Kebudayaan (Disbud) Bali, karena masih seringkali dengan terpaksa merogoh kocek sendiri agar mampu maksimal untuk memberikan yang terbaik dalam pementasan karya kreatif seni unggulannya. Implikasinya, ajang lomba tersebut dianggap semakin kurang cerdas dan tidak mendidik serta kurang aspiratif dalam menyuarakan realitas sosial budaya di ajang PKB menuju perubahan lebih baik.

Tak pelak beragam wacana publik pun mulai muncul dan berkembang di tengah gejolak sosial media yang merasa prihatin dan peduli terhadap perjuangan sejati dari seorang pekerja media (wartawan) dalam mengonstruksi beragam pertunjukan seni budaya yang sempat dipentaskan selama sebulan pada pelaksanaan konstruksi PKB berlangsung. Kini, pasalnya muncul persoalan kenapa yang cenderung secara konkret dan nyata realitasnya berkeringat mengonstruksi beragam aktivitas kesenian dalam PKB justru diabaikan sekaligus tidak diapresiasi secara layak dan bermartabat serta berkeadaban dengan beragam alasan pembenaran atas dalih bahwa keputusan dewan penilai atau dewan juri bersifat mutltak dan tak bisa digugat.

Disinilah, kinerja dan etos kerja dari kepanitiaan lomba dalam perspektif etik dan emik dipertanyakan dan diragukan kapabilitasnya dalam mengakomodir sekaligus mengadaptasi realitas sosial secara transparan dan akuntabel tanpa keberpihakan kepentingan dari persekusi kelompok tertentu dalam ekologi sosial media. Sejumlah seniman bahkan sangat menyayangkan sekali terjadinya bentuk diskriminatif dan pola-pola tidak sehat atau marjinalisasi terhadap perjuangan sejati seorang pekerja media dalam membela kepentingan publik, untuk menggugah kesadaran publik demi upaya meningkatkan pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali.

Atas realitas itulah, sudah semestinya kepanitian PKB secara general dalam konteks yang lebih luas dituntut secara serius dan terus-menerus berbenah diri dengan melakukan mulat sarira atau introspeksi diri terhadap semangat pengabdian yang tinggi sebagai pengayom kepentingan khalayak publik, kalangan masyarakat luas. Agar mampu menciptakan perubahan paradigma berpikir kritis di tengah masyarakat secara konkret dan riil, sehingga tidak selalu dicap publik kurang profesional karena tersandera tekanan kepentingan kapitalisme global yang cenderung berorientasi keuntungan (profit) belaka serta budaya citra atau narsisme. Langkah konket ini tentunya demi pelaksanaan konstruksi PKB akan datang yang lebih bermartabat dan berkeadaban, serta mencerdaskan dan menyejahterakan. IJA-MB