Foto: Ratusan warga dan nelayan kembali menagih janji manis akses jalan ke kawasan Pantai Desa Sidakarya, pada Rabu, 1 November 2023.

Denpasar (Metrobali.com)-

Ratusan warga dan nelayan di Desa Adat Sidakarya kembali turun menyuarakan penderitaannya selama lebih dari 41 tahun, akibat tidak memiliki akses jalan masuk ke Pantai Desa Sidakarya yang ternyata terus berkepanjangan. Setelah harapannya pupus, karena janji manis yang diberikan lewat Harmonisasi bersama seluruh desa adat Sekartanur bersama pemerintah dan stakeholder lainnya akan membuka akses jalan langsung ke kawasan pesisir Sidakarya yang belum juga terwujud. Padahal sudah tertuang kesepakatan lewat harmonisasi antara Desa Adat Serangan, Sidakarya, Sesetan, dan Sanur (Sekartanur) untuk mendukung segera berjalannya pembangunan Terus LNG, sehingga otomatis akses jalan masuk ke Pantai Desa Sidakarya bisa segera terealisasi.

Penderitaan warga dan nelayan di Desa Adat Sidakarya bisa dirasakan, ketika mereka turun bersama menyuarakan kembali aspirasi tersebut, sekaligus melakukan kegiatan bersih–bersih secara rutin di areal mangrove sekitar kawasan Pantai Desa Sidakarya, pada Rabu, 1 November 2023. Uniknya untuk menuju kawasan Pantai Sidakarya, mereka harus memutar dengan memakai lebih dari 20 perahu melalui Pantai Mertasari. Namun untuk menunjukan keseriusan mereka, juga melakukan aksi dengan memajang berbagai spanduk dan baliho yang bertuliskan, “1. Mana janji manismu saat sosialisasi harmonisasi kawasan Sekartanur? 2. Realisasi kawasan Sekartanur adalah harga mati, 3. Desa Adat Sidakarya membutuhkan akses jalan ke pantai untuk prosesi agama dan budaya”.

Pada kesempatan itu, Bendesa Adat Sidakarya, I Ketut Suka mengaku ingin menagih janji pemerintah bersama seluruh pihak saat pelaksanaan harmonisasi yang telah sepakat memberikan akses jalan ke Pantai Sidakarya yang terisolir oleh tanaman manggrove selama lebih dari 41 tahun. Dikatakan sesuai dengan program Desa Adat Sidakarya akan menggelar upacara besar atau Karya Agung Nangluk Merana,.pada 12 Desember 2023 mendatang, setelah berakhirnya pandemi Covid-19 yang seluruh kegiatan upacara ini harus dilakukan di Pantai Sidakarya. Selain itu, juga digelar Ngusaba Desa dan Ngusaba Nini serta Madudus Agung lan Menawa Ratna di Pura Pemuteran Jagat, sehingga juga pasti melakukan Melasti ke Pantai Sidakarya.

Tapi dengan nada sangat kecewa, pihaknya mengaku sampai sekarang janji manis untuk membuka akses jalan langsung ke Pantai Sidakarya tidak ada terwujud. “Kita ingin mempertanyakan hal itu, apakah bisa diberikan akses jalan atau tidak? Biar pasti dan jelas, agar menjalankan upacara yadnya ini tidak setengah-setengah. Karena Nangluk Merananya ini dengan Tawur Labuh Gentuh kan upacara sangat besar. Kalau tidak bisa kita ke pantai di mana kita bisa melakukan? Kita ingin kepastian, karena mumpung masih ada waktu 1 bulan ini,” tegasnya, seraya menyebutkan, Desa Adat Sidakarya juga nyungsung Ida Bhatara Dalem Sidakarya yang akan menyesaikan segala yadnya tersebut. “Karena itu masyarakat mencoba berbuat dengan melakukan yadnya untuk keseimbangan dan keselamatan serta kerahayuan jagat. Jika jagat Bali rahayu, maka kita semua juga mendapat kerahayuan,” ujarnya.

Untuk itu, ia berharap Ida Bhatara Dalem Sidakarya bisa hadir ikut mengantarkan aspirasi krama Desa Adat Sidakarya untuk memuluskan jalannya pelaksanaan yadnya dengan mendapatkan akses jalan menuju Pantai Sidakarya. Sementara itu, Pengurus KUB Muntig Siokan Desa Adat Sidakarya, I Wayan Karjana menambahkan, sebagai nelayan Muntig Siokan juga punya kawasan pantai yang tidak bisa dimanfaatkan, karena tidak ada akses jalan. Padahal sudah sempat adanya harmonisasi dengan semua pihak agar bisa memanfaatkan kawasan Pantai Sidakarya, namun sayangnya hanya tinggal janji manis saja. Selain itu, sudah sempat disampaikan kepada pemerintah, agar diberikan penataan kawasan Pantai Sidakarya, namun sampai sekarang tidak ada realisasi apapun. Apalagi dalam waktu dekat akan melaksanakan hajatan karya besar Nangluk Merana yang harus dilakukan di kawasan pesisir.

Dikhawatirkan akibat terkendala akses jalan ini, akhirnya upacara besar itu bisa digeser ke perempatan jalan, sehingga bisa menimbulkan kekroditan lalu lintas yang luar biasa nantinya. “Kami punya potensi wilayah pesisir, namun tidak bisa kami manfaatkan, dan lucunya lagi yang menanam mangrove adalah kami-kami ini. Kenapa kami tidak boleh memanfaatkan kawasan mangrove itu? Sedangkan mereka yang tidak pernah tahu bagaimana menanam mangrove di kawasan kami mengklaim sok-sok mengetahui kondisi mangrove yang ada di Sidakarya. Kami nelayan Sidakarya sudah banyak berbuat, tapi kami tidak pernah mengeluh. Yang kami perlukan hanya sebuah akses untuk mencapai kawasan Pantai Sidakarya,” tandasnya, sehingga nelayan Sidakarya sangat menderita akibat sampai saat ini tidak punya tambatan perahu yang jelas, karena kawasan Pantai Sidakarya menjadi salah satu potensi yang bisa digarap oleh nelayan yang hingga saat ini tidai mampu terealisasi.

“Apakah ada pihak yang bermain dan sengaja menghambat agar akses jalan ini tidak terwujud? Karena itu, kelompok nelayan Sidakarya menyuarakan aspirasi kami kepada pemerintah yang berwenang, terutama wakil rakyat kami yang ada di dewan provinsi yang mempunyai kewenangan. Bagaimana hak-hak kami dapat diperjuangkan agar Pantai Sidakarya ini memiliki akses jalan yang tertata dengan baik?,” sentilnya, sembari menyebutkan harmonisasi antar Desa Adat Serangan, Sidakarya, Sesetan, dan Sanur sudah dilakukan, namun sampai sekarang tidak pernah terwujud apa yang telah disepakati. “Kami ingin menegaskan dengan turun kembali menyuarakan, dan berikan kami support untuk pemberdayaan nelayan, khususnya ekonomi masyarakat di pedesaan,” pungkasnya.

Apa yang dikeluh warga dan nelayan di Desa Adat Sidarkarya tersebut, ternyata sesuai dengan faktanya, karena sebelum tiba di Pantai Sidakarya harus menggunakan akses pantai desa tetangga dengan menggunakan perahu atau jukung baru tiba di pantai yang dikelilingi hutan mangrove yang kumuh dan penuh sampah plastik. Pantai seluas 1.500 meter per segi ini, lokasinya memang sangat terisolir, akibat tanpa akses jalan masuk yang tertutup oleh hutan mangrove yang sebagian mengering dan mati akibat sampah plastik. (dan)