Denpasar (Metrobali.com)-

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) akan mengawal kasus dugaan “human trafficking” atau perdagangan manusia terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Jembrana, Bali.

“Kami siap mengawal dan mendukung Komisi Nasional Perlindungan Anak yang bekerja sama dengan Lembaga Perlindingan Anak Denpasar dan LPA Jembrana untuk melakukan investigasi kasus itu,” kata Wakil Ketua LBH APIK Bali, Luh Putu Anggreni, di Denpasar, Senin (22/7).

Pihaknya akan melakukan koordinasi dengan Jejaring Peduli Kekerasan terhadap Anak untuk membantu mengungkap kasus yang diduga telah terjadi sejak enam bulan terakhir.

Ia meminta kepada pihak kepolisian untuk segera mengusut tanpa menunggu laporan karena kasus yang menimpa anak-anak bukan merupakan delik aduan.

“Polisi harus mengusut kasus itu tanpa perlu menunggu laporan karena kasus yang menimpa anak itu bukan delik aduan,” ujar aktivis anak dan perempuan itu.

Menurut dia, sudah ada indikasi dan fakta-fkat yang harus diusut oleh pihak kepolisian tanpa perlu harus menunggu laporan korban.

Dia menjelaskan bahwa apabila sudah ditangani pihak kepolisian, LBH APIK bersama LSM lain siap melakukan upaya penguatan terhadap para korban agar berani mengungkap kasus yang mengarah pada perdagangan manusia.

Sebelumnya, Kommas Perlindungan Anak menemukan kejahatan perdagangan manusia (human trafficking) terhadap korban anak di bawah umur dengan indikasi prostitusi terselubung.

“Kami telah melakukan investigasi selama enam bulan. Hasilnya, kami menemukan anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia, untuk kepentingan prostitusi. Kejahatan ini juga dilakukan dengan terstruktur,” kata Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, Senin (15/7).

Komnas Perlindungan Anak menyatakan bahwa kejahatan itu melibatkan warga negara asing yang tinggal di Kabupaten Jembrana, dengan iming-iming uang jutaan rupiah.

Pihaknya mengungkapkan fakta mengejutkan dimana rata-rata korban mengaku berhubungan badan pertama kali dengan orang asing tersebut dan mereka kerap diberi uang antara Rp5 juta hingga Rp20 juta.

Selama melakukan investigasi di Kabupaten Jembrana, Arist mengaku, pelaku menarik korban-korbannya dengan modus berantai di antara mereka.

“Korban rata-rata berasal dari keluarga yang pas-pasan sehingga gampang tergiur saat pelaku memberikan uang dalam jumlah besar. Kepada korban, pelaku juga mengatakan untuk mengajak teman-temannya yang lain jika butuh bantuan,” ujarnya.

Rata-rata para korbannya merupakan pelajar yang duduk di bangku SMP dan sudah diajak berhubungan badan sejak kelas II dan kelas III dan setelah itu tidak dipedulikan lagi.

Selain diajak berhubungan intim, beberapa korban mengaku difoto telanjang dengan imbalan Rp2 juta.

“Korban tidak tahu untuk apa foto-foto mereka? Remaja yang baru tumbuh memang rawan terhadap kejahatan-kejahatan seperti ini,” ujarnya. AN-MB