Listiani alias Tina (39) selaku karyawan TPA dituntut 4 tahun dan denda 50 juta, subsidair 4 bulan sedangkan Ni Made Sudiana Putri (39) alias Bu Made sebagai pemilik TPA, lebih rendah yakni dituntut 3 tahun dan denda 50 juta subsidair 2 bulan kurungan.

Denpasar, (Metrobali.com)-

Masih ingat berita kematian bayi tiga bulan di tempat penitipan anak?. Kasus yang terjadi di Tempat Penitipan Anak (TPA) Princess House Childcare, Denpasar, tersebut sampai pada tuntutan jaksa penuntut umum di PN Denpasar,  Senin (16/9)).

Listiani alias Tina (39) selaku karyawan TPA dituntut 4 tahun dan denda 50 juta, subsidair 4 bulan sedangkan Ni Made Sudiana Putri (39) alias Bu Made sebagai pemilik TPA, lebih rendah yakni dituntut 3 tahun dan denda 50 juta subsidair 2 bulan kurungan.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Heppy Maulia di depan majelis hakim pimpinan Heriyanti menyatakan kedua terdakwa bersalah. Oleh karenanya, JPU menegaskan perempuan asal Banjar Pengiasan, Kelurahan Dauh Puri Kauh, Denpasar Barat ini terbukti melanggar Pasal 76D Jo Pasal 77B UU RI No.23/2002 tentang perlindugan anak sebagaimana dibeberkan dalam dakwaan kesatu.

“Terdakwa menempatkan, membiarkan, melibatakan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan yang salah dan pelantaran,” kata JPU.

Diuraikan JPU, sebagai pengelola TPA Princess House Childcare yang telah beroperasi sejak tahun 2011 mempunyai tugas dan tanggung jawab mengelola, mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap karyawan. Dimana, TPA ini memiliki 10 karyawan yang terdiri dari 9 perempuan sebagai pengasuh dan 1 orang karyawan laki-laki dibagian keuangan.

Selain itu, anak yang bisa dititipkan yakni 0 bulan sampai 7 tahun, jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Setiap harinya, anak-anak yang dititipkan di tempat tersebut kurang lebih 50 puluh anak yang terdiri dari 0 bulan sampai 2 tahun sebanyak 20 anak, 2 tahun sampai 3 tahun sebanyak 10 anak, dan 3 tahun sampai 7 tahun sebanyak 20 anak.

Sementara rasio pengasuh yakni 5 bayi diasuh 1 pengasuh, 8 anak usia sedang diasuh 1 pengasuh dan 10 anak usia besar diasuh 1 pengasuh. Untuk biayanya, Rp100 ribu per hari untuk 1 anak dan Rp900 ribu per bulan untuk 1 anak.

Terdakwa dalam mencari karyawan dengan cara mengiklankan melalui aplikasi OLX, tanpa adanya persyaratan mengenai pendidikan, pengalaman bekerja dalam hal pengasuhan anak dan batasan usia.

Jika ada yang diterima dilakukan pelatihan oleh karyawan senior tanpa dilakukan pelatihan oleh pihak yang ahli atau kompoten dalam bidang pengasuhan dan perawatan anak.
Pada Kamis (9/5) sekitar pukul 07.00 Wita, saksi Andika Anggara mendatangi tempat tersebut untuk menitipkan kedua anaknya berinisial K dan ENA (korban) yang diterima oleh saksi Evi Juni Lastrianti Siregar. Untuk korban ENA yang berusia 3 bulan diserahkan ke Listiani.

Lalu pada pukul 13.00 Wita, terdakwa mendatangi tempat tersebut, namun hanya mengecek jalannya operasional kepada karyawan kepercayaanya saja tanpa mengecek satu per satu kondisi dan bayi yang dititipkan.

“Karena menganggap tidak ada masalah, pada pukul 16.00 Wita terdakwa meninggalkan tempat tersebut,” sebut Jaksa.

Berselang beberapa jam kemudian, pada pukul 15.00 Wita, Listiana berusaha menenangkan korban ENA yang menangis dengan melilit badannya dengan kain (membedong) dan memberi susu melalui botol dot.

“Bahwa kemudian Listiana menengkurapkan korban ENA di tangannya sambil ditepuk-tepuk punggulnya agar sendawa, lalu pada pukul 16.17 Wita, Listiana menengkurapkan korban di kasur dengan posisi muka ke samping. Listiana kemudian meninggakan korban dengan kondisi pintu tertutup untuk mengurus bayi yang lain,” beber JPU.

Singkat cerita, pada pukul 17.50 Wita, Listiani baru menengok korban Ena itupun karena ada pemberitahuan bahwa korban akan dijemput oleh neneknya saksi Wayan Sumiati. Namun pada saat Listiani membuka lilitan kain bedongnya, korban Ena sudah dalam keadaan lemas.

Dalam keadaan panik, Liastiani saat itu mengosok minyak ke kaki korban tapi tetap lemas dan tidak terbangun. Kemudian atas perintah terdakwa Bu Made , korban ENA dilarikan ke RS Bros mengunakan sepeda motor. Meski sempat mendapat perawatan medis, nyawa korban ENA pun tak bisa tertolong.

Dari hasil visum et repertum, pada korban ENA ditemukan luka-luka memar akibat kekerasan benda tumpul, tanda-tanda mati lemas, perbendungan pada organ dalam, sembab otak dan paru-paru, dan cairan putih dalam saluran napas dan paru. Selain itu, sebab kematian adalah terhalangnya jalan napas dan penyakit infeksi paru akut yang mengakibatkan korban sulit bernapas sehingga menimbulkan mati lemas.

Lebih lanjut, terdakwa Sudiana, bahwa TPA yang dikelola oleh terdakwa melanggar berbagai ketentuan mulai dari diisi oleh karyawan tidak profesional sebagaimana disyaratkan dalam peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.137/2014 tentang standar Nasional pendidikan anak usia dini, hingga belum mendapat ijin dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Kota Denpasar. “Sidang dilanjutkan minggu depan dengan agenda pembelaan terdakwa,” tutup hakim. (TIM-MB)