Denpasar (Metrobali.com)-

Kuliner Bali yang mengangkat cita rasa masyarakat Bali, telah diwariskan sejak turun menurun. Kuliner Bali pada awalnya adalah bentuk persembahan sebagai rasa sebagai rasa syukur kepada Tuhan. Kuliner Bali juga memiliki prinsip komunal dan bahan yang dipakainya tidak jauh dari lingkungan sekitarnya. Kekhasan dari kuliner Bali inilah yang membuatnya istimewa dan membuatnya unik sehingga memiliki nilai tambah selain rasa makanan Bali yang pedas dan asin dengan bumbu rempah-rempah  yang sudah terkenal mengangkat cita rasa makanan Asia.

Kuliner Bali ikut terangkat dengan peningkatan popularitas Bali sebagai destinasi pariwisata International. Segala infrastruktur  pendukung ikut ditingkatkan untuk memenuhi segala persyaratan untuk menjadikan Bali sebagai destinasi yang berkelas international. Kendati begitu, sekitar 80 persen turis yang datang ke Bali tidak pernah mencoba masakan tradisional Bali.

Kebanyakan orang datang ke Bali beranggapan bahwa makanan Bali adalah nasi goreng, sate ayam, dan gado-gado. Padahal semuanya itu adalah masakan Indonesia. Untuk itu, Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali mulai memperkenalkan masakan Bali melalui kampanye “Hello Balinese Culinary!”.

Tujuan kampanye itu dilakukan, ujar Ketua GIPI Bali, Ida Bagus Ngurah Wijaya, untuk memperkenalkan jenis kuliner Bali dan memformulasikan standar kuliner Bali, serta membentuk komitmen di antara pemangku kepentingan industri pariwisata. Sehingga, kata Wijaya, terbentuk konsep berpikir yang holistik mengenai kuliner Bali sebagai salah satu daya tarik dan produk pariwisata Bali.

“Tantangan kuliner Bali yang lain adalah perlindungan hak kekayaan intelektual yang harus segera diperhatikan sebaga benteng pertahanan budaya Bali dan Indonesia. Masakan Bali seperti Lawar, Betutu, Sate lilit dan lainnya akan terangkat, namun belum mendapatkan sorotan utama,” kata Wijaya, Senin 21 Mei 2012.

Cita rasa masakan Bali, Wijaya melanjutkan, pasti tak akan sama dengan cita rasa masakan masyarakat barat cita rasa masakan Asia. “Di sinilah perlu dipertanyakan dan diseberluaskan tentang toleransi dalam mengantarkan kuliner Bali menjadi sebuah menu international,” tandas dia.

Dalam kerangka mewujudkan hal itu, Wijatya mengaku pihaknya telah menggelar seminar yang menghadirkan beberapa pembicara yang berpengalaman di bidangnya. Pertama adalah Janet de Neefe, seorang Autralia yang sudah tinggal di Bali selama 20 tahun. Janet sendiri tinggal di Ubud yang mempunyai dua restoran yakni Casa luna dan Indus. Ia juga mempunyai sekolah Casa Luna Cooking School. Sekolah ini banyak dikunjungi oleh orang-orang yang berminat mempelajari teknik memasak, khususnya untuk masakan Bali dan juga Ia mempromosikan Kuliner Bali melalui festival yang dibuatnya yakni “Ubud Writers and Readers Festival”.

Narasumber kedua adalah Heinz van Holzen, seorang koki Jerman yang sudah pengalaman di Grand Hyatt Hotel Singapura dan Nusa Dua. Dia tinggal di Bali selama lebih dari 20 tahun. Selama di Bali ia merintis restoran yang menyajikan makanan tradisional Bali, dengan nama Bumbu Bali. Ketiga, Will Meyrick, seorang berkebangsaan Australia, seoarang penjelajah kuliner dibeberapa negara khususnya makanan lokal di negara tersebut. Will Meyrick sendiri, tutur Wijaya, menyatakan jika kuliner sebagai salah satu identitas sebuah budaya takkan lepas dari nilai-nilai yang mengikutinya. Untuk memupupuk rasa bangga dan rasa memiliki terhadap kuliner Bali. Di tahun 2008 Will membuka restoran yakni Sarong Bali dan Mamasan.

“Kami berharap kampanye kuliner Bali ini dapat diteruskan, sehingga menjadi program yang lebih baik dan berkelanjutan. Diharapkan melalui kampanye ini para pemangku kepentingan pariwisata di Bali semakin kreatif dalam mengembangkan kearifan lokal melaui produk-produk kuliner Bali,” tutup Wijaya. BOB-MB