Keterangan Poto : Kemeriahan menyambut kedatangan delegasi G20 di Bandara Ngurah Rai, Badung. Nam[ak Presiden Jokowidodo menerima peserta delegasi KTT G20

Fisikawan ternama ini pernah menulis: kita tidak bisa menyelesaikan masalah, dengan cara-cara yang sama yang menjadi penyebab munculnya masalah tsb, diperlukan pendekatan lain untuk penyelesaiannya.

Dalam konteks G20, resesi ekonomi tidak bisa diselesaikan dengan mengutak-atik suku bunga acuan di masing-masing negara, krisis pangan yang terjadi tidak bisa dilakukan dengan “business as usual”, EBT (Energi Baru Terbarukan) tidak bisa dilakukan dengan deklarasi sarat retorika, tetapi lemah dalam implementasi.

Negara-negara besar mesti menurunkan ego national interest nya, kinerja Bank Dunia dan IMF mesti lebih memihak kepentingan negara-negara miskin, sehingga kasus seperti Sri Lanka yang negerinya bangkrut secara keuangan dapat dihindari. Pertanian semestinya diangkat menjadi isu global, dengan merintis pendirian International Banking for Farmers.

Tetapi dalam kenyataannya, kinerja lembaga-lembaga internasional sangat bias memihak negara-negara maju, sehingga pendapat anggota Dewan Keamanan PBB , sangat bias ke kepentingan mereka. Pengambilan keputusan di Bank Dunia dan IMF sangat ditentukan oleh besarnya setoran modal masing-masing negara, yang didominasi oleh negara-negara maju. Dalam pandangan Einstein di atas, proses kerja di lembaga-lembaga ini harus dikoreksi.

Pendapat menyengat yang disampaikan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres yang menyatakan ada 354 juta penduduk dunia terancam krisis pangan, 50 juta di antaranya didera kelaparan di hari-hari ini.

Perang Ukraina – Rusia membuka mata dunia, ketergantungan gandum dan juga pupuk pada ke dua negara tsb. melahirkan kerentanan glogal, krisis pangan yang sangat merugikan penduduk miskin di negara-negara berkembang. Isu pangan dan pertanian harus diangkat menjadi isu global, dengan program aksi nyata antara lain melalui rintisan bank internasional bagi para petani – international banking fot the farmers-.

EBT (Energi Baru Ternbarukan) merupakan keniscayaan, diperlukan program serius dalam penyiapannya; besarnya dana pembelanjaan, pilihan teknologi, penolakan dari elite ekonomi yang memperoleh surplus ekonomi dari pembangkit listrik berbahan baku minyak bumi dan batu bara, perebutan di antara elite ekonomi untuk proyek ETB. Dan dihindarkan terjadinya isu ini sebatas jargon politik di masa kampanye pemilu.

Tindak lanjut perdagangan karbon harus segera dilaksanakan, bagi masyarakat yang mampu mempertahankan dan merawat hutannya, dan berkontribusi significan dalam produksi 02, dan menekan emisi CO2 memperoleh kompensasi dari upaya pelestarian hutan. Sehingga by design warga di seputar hutan akan merawat hutannya secara swadaya.

Dalam konteks Bali, paparan hutan sekitar Gunung Agung dan Gunung Batukaru dengan perkiraan luas masing-masinh sekitar 100.000 ha, hutan di Penulisan dan di Pengejaran dengan perkiraan luas masing-masing sekitar 40,000 ha, tugas Pemda Bali untuk merawatnya secara lebih serius dan sekaligus memperjuangkan kebijakan perdagangan karbon yang berupa masyarakat di seputar hutan mempereleh kompensasi atas kontribusinya ikut menahan risiko pemanasan global.

Penulis
Jro Gde Sudibya pengamat ekonomi, politik dan budaya