Krisis Konstitusi
Denpasar, (Metrobali.com)
Penggantian hakim MK Aswanto melalui usulan DPR dan kemudian disyahkan oleh Presiden, merupakan krisis konstitusi, bertentangan dengan pasal 23 UU MK, yang menyatakan penggantian hakim MK dilakukan oleh Ketua MK menurut ketentuan yang berlaku dalam UU MK.
Usulan penggantian oleh DPR dan disyahkan oleh Presiden, tanpa konsultasi ke MK, menggambarkan terjadinya ketegangan antara ke tiga lembaga tinggi negara di atas, dan sekaligus menggambarkan intervensi nyata terhadap MK.
Padahal kita mengetahui fungsi sangat penting MK dalam menjaga konstitusi (mengambil keputusan yang bersifat final dan mengikat atas perkara yang diajukan tentang UU terhadap UUD 1945), menyelesaikan sengketa pemilu.
Keberadaan MK yang independen, sebagai bagian dari sistem peradilan yang merdeka (bebas dari segala bentuk intervensi politik dan kekuasaan) menjadi begitu penting, untuk tegaknya demokrasi yang berlandaskan hukum, bukan kekuasaan, dengan menyimak lanskap politik Indonesia yang bercirikan:
1. Kompetisi politik di Indonesia yang sarat dengan pertarungan modal, pragmatisme dan politik uang, memerlukan lembaga independen dan merdeka (dari tekanan politik kekuasaan) dalam penyelesaian sengketa pemilu yang fair dan berkeadilan.
2. Menyimak beberapa produk UU, sebut saja UU Pemilu yang menyangkut persyaratan ambang batas pencalonan Presiden, UU yang dibahas super kilat sekitar 15 hari tentang revisi UU Minerba yang menyangkut kepenguasaan besar SDA, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang sangat pro investor ( yang telah ditunda pelaksaanaanya dan harus dilakukan koreksi sesuai keputusan MK), revisi UU KPK yang melemahkan KPK, sangat memerlukan MK yang independen dan bebas intervensi, untuk lebih menjamin semua lembaga menjalankan amanah konstitusi secara bertanggung-jawab.
3. Dalam realitas politik, pemerintah begitu kuatnya ( exucutive heavy), lembaga DPR yang lemah dalam pengawasan politik, akibat sebagian besar kekuatan di parlemen bagian dari koalisi pemerintahan, gerakan masyarakat sipil yang melemah, sehingga cheks and balances juga melemah, sehingga untuk penyelamatan demokrasi, kita memerlukan MK yang kuat, dan independen, sehingga produk UU yang dilahirkan Pemerintah dan DPR tetap dalam koridor konstitusi.
Krisis konstitusi harus diakhiri, kalau tidak, telah terjadi pengingkaran terhadap gerakan reformasi 24 tahun lalu, dan diperkirakan akan melahirkan biaya sosial politik yang sangat besar di tahun-tahun yad.
Jro Gde Sudibya, pengamat ekonomi politik, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.