Jakarta,  (Metrobali.com)

 

Kriminolog dari Universitas Indonesia Kisnu Widagso meminta masyarakat untuk tidak berspekulasi terkait kejanggalan kematian Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dan meminta publik untuk menunggu Tim Khusus mengungkap ‘puzzle’ atau teka-teki terkait kasus ini.

“Idealnya, puzzle-nya ngumpul dulu baru kemudian bisa dijelaskan,” kata Kisnu dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

Kejanggalan demi kejanggalan yang menjadi sorotan publik, menurut Kisnu, diakibatkan asumsi yang terbentuk ketika kepingan “puzzle” masih belum lengkap. Oleh karena itu, ia meminta kepada publik untuk menunggu Tim Khusus yang dibentuk Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk melengkapi kepingan “puzzle” tersebut.

Kuncinya, kata Kisnu, sebenarnya keterbukaan informasi. Menurut dia, untuk melengkapi sebuah “puzzle”, terdapat informasi yang bisa diperoleh dari berbagai sumber, salah satunya korban, saksi, dan bukti lainnya.

“Lalu digital evidence (bukti/jejak digital). Digital evidence apakah CCTV doang? CCTV di luar rumah itu kan hanya menentukan bahwa si A ada di situ,” ucapnya menjelaskan.

Selain itu, Kisnu menyebut ponsel dari para yang diduga terlibat dalam kasus ini juga diperiksa oleh ahlinya. Tindakan ini bertujuan untuk memeriksa call data record, pertukaran pesan, dan lainnya. Namun, kata dia, belum tentu langkah tersebut bisa memudahkan untuk memberikan penjelasan.

“Ya tentu saja belum, karena data itu hanya menunjukkan telah terjadi komunikasi antara jam sekian sampai jam sekian, kemudian tidak terjadi komunikasi lagi jam sekian,” ucapnya.

Di samping itu, Kisnu mengingatkan publik jangan beranggapan bahwa setiap orang yang meninggal dalam kasus kejahatan itu merupakan korban.

“Luckenbill bilang, biasanya kekerasan itu ada trigger, ada yang memulai, ada yang melemparkan simbol, dan ada yang men-trigger munculnya simbol,” katanya.

Tapi masalahnya, tutur Kisnu, sering seseorang yang memulai itu memunculkan definisi situasi yang baru. Definisi situasi baru itulah menyebabkan audiens merespons, dan ketika mendapatkan respons, sosok yang memulai ini kemudian merespons balik. Sampai pada satu titik, pertukaran simbol ini mencapai titik kritis.

“Di situlah kemudian terjadi pembunuhan, kekerasan yang menyebabkan seseorang meninggal dunia,” katanya.

Sumber : Antara