Denpasar (Metrobali.com)-

Dalam era globalisasi terkini, dunia pendidikan di Bali sarat komersialisasi. Pasalnya, insitusi pendidikan acapkali berlomba-lomba mengemas pendidikan sebagai produk menarik dalam sosial media seperti iklan cetak maupun elektronik (koran, radio, televisi), pamplet, papan reklame, dan lainnya. Akibatnya, dunia pendidikan menjadi produk komoditi sosial bernilai ekonomis yang diperdagangkan, bukan sebagai lembaga edukasi publik sesuai amanat UUD’45 dan Pancasila, serta UU Sisdiknas.

Jika hal ini dibiarkan secara otomatis akan mengancam upaya pemerintah dalam menciptakan pendidikan layak yang murah dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Makanya, pemerintah semestinya menyikapi fenomena ini dengan lebih serius, sehingga program wajib belajar (wajar) 12 tahun dengan pendidikan terjangkau dan bahkan secara gratis tidak hanya sekadar wacana publik semata. Melainkan, betul-betul mampu direalisasikan secara konkret.

Demikian diungkap oleh pengamat pendidikan, Gede Suardana, Minggu (2/9) kemarin. Dia menegaskan bahwa komersialisasi merupakan citra simbolik dunia pendidikan dalam memengaruhi pola pikir khalayak sehingga terjebak dengan janji-janji yang cenderung menyesatkan. Akibatnya, beban operasional atau biaya bagi dunia pendidikan menjadi semakin mahal dan tidak terjangkau.

Makanya, pemerintah harus membikin regulasi bagi pelarangan komersialisasi dunia pendidikan agar tidak muncul kesenjangan yang semakin berjarak antara pelajar dari kalangan elite atau orang tua mampu atau kaya dengan pelajar dari kalangan orang tua miskin atau berkekurangan. Sehingga, tidak muncul kesan dunia pendidikan hanya milik pelajar dari kalangan elite. “Karena komersialisasi pendidikan dapat mengancam pendidikan wajar 12 tahun dan pendidikan yang layak murah dan berkualitas serta berkeadilan,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Disdikpora Bali, AAN Gde Sujaya mengatakan sejatinya komersialisasi pendidikan itu telah berupaya dipangkas pemerintah dengan menerapkan berbagai sistem dan kebijakan melalui sejumlah program kegiatan seperti beasiswa bidikmisi (beasiswa siswa miskin), program wajib belajar 12 tahun, sertifikasi guru, beasiswa kualifikasi akademik guru S1/D3 dan S2, dan lainnya. Memang beragam sistem dan kebijakan itu belum mampu sepenuhnya menghapus terjadinya praktik komersialisasi pendidikan. Tapi, setidaknya upaya meminimalisasi hal itu terus diupayakan. Hingga tercipta pendidikan yang layak, murah dan tetap berkualitas. “Agar seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan secara berkeadilan,” harapnya. IJA-MB