Saya mencoba memotret peta politik Pemilu 2014 dan pasca Pilpres. Pertanyaan pertama, siapa yang akan memenangkan Pemilu 2014? PDI Perjuangan atau Golkar? Lalu benarkah PDI Perjuangan akan berkoalisi dengan Golkar?

===========================

Segalanya bisa terjadi. Termasuk kita tak menduga Akil Mochtar tertanagkap tangan, atau Presiden PKS “diseruduk” sapi. Namun dari berbagai survei yang amat intens saya ikuti, dua partai ini PDI Perjuangan dan Partai Golkar selalu dalam posisi bersaing di peringkat atas.

Dalam kaitan ini, kompetisi terjadi di antara 12 partai politik peserta Pemilu. Beberapa hasil survei setahun terakhir menunjukkan betapa sebetulnya citra partai politik di mata publik amat ditentukan –pertama-tama dan utama—oleh kuat atau tidaknya citra negatif yang muncul ke hadapan publik melalui berbagai perilaku negatif politisi partai politik bersangkutan. Inilah yang menjelaskan kenapa Partai Demokrat dan PKS belakangan hasil survei elektabilitasnya terjun bebas, gara-gara isu negatif yang terbentuk karena ulah para petinggi partainya.

Analisa dan data survei Litbang Kompas berikut barangkali bisa memberi jawaban atas pernyataan di atas:

Peningkatan popularitas parpol yang sangat signifikan terjadi pada PDI-P. Saat ini, popularitas PDI-P melesat, mendudukkannya di posisi puncak, diminati 23,6 persen responden. Pada survei enam bulan sebelumnya, Desember 2012, PDI-P meraih 13,3 persen dan masih bersaing ketat dengan Partai Golkar

Peningkatan popularitas yang juga signifikan terjadi pada Partai Gerindra. Popularitas parpol itu meningkat dua kali lipat. Jika pada survei Desember calon pemilih Gerindra sebanyak 6,7 persen, enam bulan kemudian melonjak menjadi 13,6 persen. Dengan proporsi yang diraihnya itu, Gerindra masuk parpol papan atas perolehan dukungan sekaligus mengancam posisi parpol papan atas yang lain, seperti Partai Demokrat.

Jika ditelusuri, bagi mayoritas responden survei, persoalan keberadaan dan citra sosok ini pula yang menjadi faktor pembentuk utama penolakan mereka terhadap parpol. Kondisi demikian tampak nyata pada Partai Demokrat dan PKS. Terhadap Partai Demokrat, misalnya, selain hasil survei menunjukkan posisi keterpilihan partai pemenang Pemilu 2009 ini anjlok (keterpilihan hanya 9,3 persen) pada Desember 2012, juga menunjukkan sebagai parpol yang paling tinggi resistansinya. Saat itu, 12,2 persen responden yang paling tidak menginginkan parpol ini memenangi Pemilu 2014.

Prahara parpol yang menyeret para petinggi parpol hingga ketua umum dalam tuntutan kasus-kasus korupsi menjadi alasan utama responden menolak parpol ini. Kini 16,1 responden tidak ingin parpol itu menang pemilu.

Jika Partai Demokrat terus-menerus berkutat dengan peningkatan resistansi publik, PKS justru enam bulan terakhir ini menghadapi lonjakan sentimen negatif. Pada survei Desember 2012, masih teramat minim penolakan responden terhadap parpol ini. Kini PKS bersama Demokrat menjadi parpol yang terbesar tingkat penolakan respondennya. Ini juga akibat keterlibatan sosok pimpinan parpol dalam perkara korupsi. (Kompas, Selasa 27 Agustus 2013)

Betapapun kemudian iklan program parpol ditayangkan dan prestasi kader di eksekutif dipaparkan, tetap hasilnya tak mampu menghapus citra buruk parpol yang terbentuk melalui oknumnya yang terlibat korupsi. Tayangan siaran langsung dari Pengadilan Tipikor mengenai kader yang terlibat korupsi akan menjadi kampanye negatif yang efektif untuk secara sistematis membuat parpol tersebut terpuruk.

Berangkat dari paparan di atas maka dibuat asumsi sebagai berikut. Pertama, jika PDI Perjuangan tidak kena kasus hingga menjelang Pemilu 2014 dan sebulan menjelang Pemilu Jokowi dicalonkan menjadi Presiden, potensi PDI Perjuangan memenangkan Pemilu 2014 dengan raihan angka siginifikan amat besar. Kedua, jika Jokowi tidak dipublikasikan sampai pencoblosan maka peluang PDI Perjuangan dan Golkar saling berada di peringkat pertama amat besar namun dengan selisih yang tipis. Itupun dengan catatan, Golkar juga tak terkena kasus.

Partai Demokrat dan PKS termasuk partai yang amat berat menghadapi Pemilu 2014. Bukan karena mesin partai tidak jalan, namun karena isu ekstrenal yang demikian kencang. Sidang di Pengadilan Tipikor yang akan menghadirkan Andi Marangeng sebagai tersangka, lalu disiarkan langsung televisi sudah memberi kampanye negatif bagi Demokrat untuk terus melorot. Kendatipun mereka kampanye positif habis-habisan. Belum lagi jika Anas Urbaningrum duduk sebagai tersangka di pengadilan. Demokrat amat mungkin terjung bebas. PKS masih terus berjuang untuk memulihkan nama baiknnya. Namun rentetan kasus mantan Presiden PKS akan turut andil memurukkan citra partai.

Pemilu Presiden

            Untuk menjawab siapa yang maju sebagai calon presiden maka pertanyaan pertama adalah, si calon punya logistik apa tidak? Pasalnya diperlukan sekurang-kurangnya Rp 3 trilyun untuk bertarung di Pilpres. Jika melihat peta hari ini maka Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto relatif paling siap. Dari sisi elektabilitas Joko Widodo tetap teratas. Dengan demikian, potensi calon presiden pada pemilu mendatang kira-kira sebagai berikut.

            Pertama, akan muncul tiga calon, Jokowi, Ical dan Prabowo yang diusung oleh koalisi parpol. Jokowi muncul dengan kendaraan PDI Perjuangan tanpa koalisi. Ical dengan Golkar juga amat mungkin tanpa koalisi. Dan Prabowo dengan koalisi partai tengah. Ini dengan catatan, di internal Golkar tak terjadi gonjang-ganjing. Jika kemudian yang menang Pilpres Jokowi, maka –seperti biasa—Golkar akan banting haluan dan berkoalisi dengan PDI Perjuangan. Partai banteng moncong putih ini tak ada pilihan, jika ingin memperkuat parlemen, pasti harus berkoalisi. Dan pilihan itu lebih nyaman ke Golkar dibandingkan Demokrat dan partai lainnya. Posisi politik hari ini, PDI Perjuangan dalam posisi yang amat berjauhan dengan Demokrat dan Gerindra (berangkat dari fakta-fakta komunikasi politik elitenya dan koalisi Pilgub di beberapa daerah).

            Kedua, Jokowi akan dicalonkan menjelang Pemilu Legislatif. Lalu internal Golkar bergolak. Maka, amat mungkin akan muncul hanya dua calon Jokowi versus Prabowo Subianto. Sementara kubu Ical tersungkur dan Golkar merasa cukup nyaman mengirim Akbar Tanjung menjadi cawapresnya Jokowi. Lalu koalisi terbangun sebelum Pemilu Legislatif. Sosok Akbar Tanjung memiliki kedekatan politik dengan Megawati Soekarnoputri. Dan jika gerbong AT berkuasa di Golkar Mega merasa nyaman menggandeng kuning. Lagi pula logistik Pilpres akan mengalir deras dari kuning.

            Kemungkinan ketiga, Jokowi ditahan karena alasan tertentu ( dan ini peluang terendah). Lalu tidak menjadi calon. Maka pertarungan akan terjadi Golkar versus Gerindra versus koalisi Demokrat. Dalam posisi seperti ini, PDI Perjuangan masih tetap akan lebih nyaman merapat ke kuning dibandingkan putih dan biru. Namun sekali lagi, kemungkinan ketiga ini amat kecil, kecuali ada oknum PDI Perjuangan yang melakukan barter politik sedemikian rupa untuk memperkaya diri lalu mengerem Jokowi dengan iming-iming trilyunan rupiah. Saya kira ini kecil terjadi. Alasannya sederhana. Setelah dua kali jadi oposisi, sekaranglah momentum tepat PDI Perjuangan berkuasa. Dan momentum itu akan dipakai.

Implikasi Buat Bali

            Saya harus jujur mengatakan sebetulnya faktor Jokowi relatif sedikit pengaruhnya terhadap suara PDI Perjuangan di Bali. Survei-survei yang ada masih mencatat PDI Perjuangan unggul di Bali namun dengan raihan suara yang sama dengan Pemilu 2009 – sekitar 40 persen. Justru perilaku beberapa elite di eksekutif relatif mencoreng citra partai ini. Artinya, posisi 40 persen di Bali bagi moncong putih adalah hasil yang rasional ketika sebetulnya tak ada prestasi politik luar biasa yang dihasilkan.

            Namun, jika dinamika koalisi merah kuning benar terjadi di pusat, maka implikasinya adalah Pilkada serentah 2015. Saya meyakini koalisi merah kuning di pusat jika berhasil mengantarkan jagonya berkuasa sebagai presiden dan wakil presiden, akan diiringi dengan koalisi Pilkada merah kuning di seluruh Indonesia. Kenapa? Karena pemimpin nasional butuh dukungan gubernur dan bupati serta walikota dari warna politik yang sama. Agar tak terjadi sabotase politik di level lokal sebagaimana dialami SBY  saat ini oleh sejumlah gubernur dan bupati. Jika ini terjadi juga di Bali (koalisi merah kuning), maka dipastikan kondisi politik dan keamanan di Bali akan berjalan sejuk dan teduh lima tahun ke depan.

            Kita lihat saja apakah itu akan terjadi?

 

Oleh I Gusti Putu Artha

Penulis, anggota KPU 2007-2012, kini konsultan politik.