MELALUI pelaksanaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) IV, 19 s.d 25 April 2012 di Kabupaten Tobelo Halmahera Utara, isu “Kemartabatan”  terus didorong sebagai cita-cita bersama masyarakat adat. Kemartabatan merupakan warisan leluhur yang harus dihormati  dan diwujudkan di seluruh belahan bumi nusantara. Dari Bali, saya mencoba memahami bagimana sesunguhnya filosofi kemartabatan sebagai sebuah Warisan para leluhur yang harus dihormati dan dilindungi.

Dalam keyakinan masyarakat  adat Bali,  Warisan bisa berupa 1). Harta benda, 2). Keturunan, 3). Hutang/Kewajiban dan 4). Nilai-nilai, system, hakekat adat, dst (Sesana). Harta benda yang dimaksud bisa berupa tanah, harta, kekayaan sumber daya alam, serta bentuk-bentuk material lainnya (sekala).  Keturunan; adalah generasi penerus-anak-anak kita, laki perempuan sama saja. Hutang atau kewajiban adalah sesuatu yang berupa kebendaan atau senyatanya baik berupa uang, barang atau hutang jasa dan aktivitas. Sedangkan nilai-nilai adalah rangkuman dari berbagai kekuatan atau hubungan antar manusia, manusia dengan alam, dan atau manusia dengan Sang Pencipta-Tuhan yang Maha Esa (Tri Hita Karana). Termasuk didalamnya berupa hak dan kewajiban  non material (spirit/niskla).

 

Dalam prakteknya dikenal istilah “Pewaris” dan “Ahli Waris”.  Pewaris adalah mereka yang akan memberi atau melimpahkan Warisan kepada keturunnya atau pihak yang berhak. Sedangkan Ahli Waris adalah mereka yang akan menerima Warisan dari Pewaris. Semuanya harus diatur berdasarkan spirit ber-Ketuhanan serta norma hukum Adat dan hukum Negara yang berlaku. Pada prinsipnya Warisan wajib di kelola secara bermartabat.

MENGURAI KESALAHAN MENUJU KEMARTABATAN

Masyarakat Adat  Nusantara dengan keragaman Suku, Budaya dan Agamanya bisa juga di maknai sebagai Warisan Nusantara. Masyarakat adat adalah pondasi berdirinya Republik ini. Dalam makna yang lain bisa disebut sebagai “orang tua” atau “saudara tua”.

Saya percaya kelima sila Pancasila adalah “rangkuman spirit nusantara yang utama”. Keragaman suku dan budaya Masyarakat  Adat  adalah satu dalam kebersamaan, berbeda namun tetap satu (Bhineka Tunggal Ika). Oleh karenanya ibarat orang tua kita, keberadaan dan hakekat Masyarakat Adat harus dihormati di lindungi untuk selanjutnya dapat di sinergikan untuk “memperteguh” kembali pondasi dan kekuatan utama Bangsa dan Republik ini.

Selanjutnya, sebagai generasi penerus bangsa ini (keturunan), kita semua sebagai Masyarakat adat bisa juga di sebut sebagai Warisan seperti yang di maksudkan di atas. Dengan demikian masyarakat  adat bisa di katakan memiliki dua makna. Pertama, sebagai Warisan yang harus dipelihara, dilindungi dan dihormati. Kedua, Masyarakat Adat bisa juga sebagai “Pewaris” dan “Ahli Waris” yang harus bertanggungjawab terhadap Warisan yang dititipkan oleh leluhur kita.

Pertanyaan berikutnya adalah, sudahkan kita memahami bentu-bentuk dan hakekat warisan yang sesungguhnya? Sering kali di jaman yang konon modern ini, warisan hanya dipahami sebagai/atau dalam bentuk harta benda saja. Sementara nilai-nilai serta hak dan kewajiban dalam bentuk spiritualitas sudah terlupakan bahkan diabaikan. Demikian juga halnya sebagai Pewaris, sering kali Pewaris tidak paham apa saja yang wajib diwariskan  kepada Ahli Warisnya. Sekali lagi di jaman yang modern ini, sering kali yang dipahami dan diwariskan hanyalah harta benda saja.

Berikutnya, ada kalanya Pewaris sudah benar dalam mewariskan Warisan kepada Ahli Warisnya. Namun sayang ahli waris yang diberi dan menerima warisan lalai dalam menggunakan, memelihara dan menghormati warisan tersebut. Bahkan menggunakan warisan dengan cara-cara dan untuk hal-hal yang tidak bermartabat, seperti apa yang telah dititipkan dan dimandatkan oleh Pewarisnya (Orang Tua/Pendahulu/Leluhur).

Harus diyakini dan disadari kembali bahwa; menerima, menguasai, dan mengelola Warisan dengan cara-cara yang tidak berbartabat sama saja mengingkari “Hukum Alam”. Dalam filosofi pewarisan ini,  kemartabatan akan ada atau lahir dari kemartabatan pula.  Jika saat ini masyarakat adat  belum bermartabat, maka negara harus segera menghormati dan melindunginya.  Dan jika Negara ini dikelola dengan cara-cara yang tidak bermartabat pula, maka Masyarakat Adat harus menegur dan mengawasinya. Dan jika Masyarakat Adat dan Nagara sama-sama tidak bermartabat, maka keputusan final ada di Sang Penciptanya.

Untuk itu, Negara dan Masyarakat Adat harus duduk bersama dan bersatu padu membangun negeri ini dengan cara-cara yang bermartabat pula. Semoga melalui KMAN IV dapat dipahami dan ditemukan kembali nilai-nilai kemartabatan yang sesungguhnya. Yang konon selama ini terlupakan dan terpinggirkan. Selamat Berkongres!

Made Nurbawa

Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara-Bali