Foto: Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Provinsi Bali Nengah Yasa Adi Susanto yang akrab disapa Bro Adi.

Denpasar (Metrobali.com)-

Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Provinsi Bali Nengah Yasa Adi Susanto yang akrab disapa Bro Adi sangat menyayangkan aksi tidak terpuji dan tidak toleran yang dilakukan sekelompok warga muslim warga Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, yang memaksa masuk dan membuka portal jalan menuju ke Segara Rupek dan tidak menuruti perintah pecalang saat Hari Raya Nyepi Tahun caka 1945 sehingga menodai pelaksanaan Nyepi dan melukai perasaan umat Hindu di Bali.

Sebagai partai politik yang menjungjung tinggi DNA anti-intoleransi dan anti-korupsi, PSI Bali mengutuk keras aksi tersebut dan mendukung penuh pihak kepolisian untuk melakukan proses hukum kepada pelaku. PSI Bali juga mendorong kasus ini agar sampai tuntas di meja hijau, jangan sampai terhenti begitu saja dengan materai 10 ribu walaupun sudah ada permohonan maaf dari pelaku.

“Kami PSI selaku partai yang mempunyai tagline anti-intoleransi tentu mengutuk keras apa yang dilakukan oleh kelompok masyarakat non-Hindu yang ada di Sumberklampok, Gerokgak tersebut. Jadi tindakan tersebut boleh saya katakan, itu sangat-sangat intoleran. Perayaan Nyepi tiba-tiba harus ternoda oleh oknum-oknum yang tidak menghargai keberagaman, kebhinekaan, adat dan tradisi kita yang sudah kita lakukan tiap tahun di Bali,” kata Bro Adi, Jumat (24/3/2023).

Bro Adi menegaskan mestinya mereka paham penting sekali kita menjaga toleransi diantara sesama umat beragama. “Karena kita pun begitu di Bali. Kita tidak pernah mau melakukan hal-hal yang sifatnya intoleran kepada masyarakat non-Hindu dan tentunya kita harus menjaga kerukunan antar umat beragama di Bali,” kata Bro Adi.

Dia menegaskan sesama umat beragama tentu memang harus saling memaafkan, tetapi dalam kasus ini proses hukum jangan sampai hanya selesai di mediasi melainkan harus tetap berjalan sesuai aturan hukum yang berlaku. Menurut Bro Adi, kasus-kasus penistaan agama seperti ini tidak bisa serta merta hanya diselesaikan dengan restoratif justice.

“Karena pertama ancaman hukumannya itu lima tahun, kedua sangat melukai perasaan kita, masyarakat Hindu yang khusyuk merayakan Hari Raya Nyepi dengan Catur Brata Penyepian. Jadi tidak bisa diselesaikan hanya dengan materai 10.000, harus diproses hukum, kenakan pasal-pasal yang maksimal. Mungkin di KUHP itu 156A terkait dengan penodaan maupun penistaan agama. Sehingga kedepan tidak ada lagi kejadian seperti ini,” tegas Bro Adi yang juga seorang advokat ini.

“Sebenarnya ini tidak memenuhi unsur restoratif justice, sehingga harapan kami proses hukum tetap berjalan, sehingga ke depan jangan ada pihak dan oknum yang merasa mentang-mentang punya kekuatan massa di sana kemudian melakukan upaya-upaya provokasi. Syukur pecalang kita di sana, Bendesa Adat di sana sangat santun, bisa menahan emosi. Kalau tidak kan terjadi bentrokan. Kalau terjadi bentrokan tentu dampaknya akan sangat luas,” imbuh politisi PSI asal Desa Bugbug, Kabupaten Karangasem ini.

Dia lantas menegaskan jika persoalan ini hanya selesai dengan materai 10 ribu dan mediasi damai maka tentu akan menjadi preseden buruk ke depannya khususnya bagi kasus-kasus penistaaan agama dan kasus intoleransi terhadap umat Hindu yang tergolong minoritas di Indonesia. Bro Adi lantas menyoroti kasus-kasus yang berkaitan dengan penistaan agama Hindu selama ini kerap tidak ada kepastian hukum, menguap hilang begitu saja dengan mediasi.

“Selaku minoritas di Indonesia, sangat jarang sekali proses-proses penistaan agama yang ditujukan kepada agama Hindu itu diproses secara hukum. Jadi kebanyakan diproses di ruang-ruang hampa, tidak jelas, kasus yang ada saja kenyataannya sampai sekarang tidak pernah masuk ke meja hijau. Jadi harapan kami, mungkin kasus ini sebagai pembukalah, membuka kasus-kasus sebelumnya juga yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, baik oknum yang beragama Hindu sendiri maupun oknum yang di luar beragama Hindu, ya harus diproses. Sehingga tidak terjadi proses dugaan penistaan agama, penodaan agama itu tidak kembali terjadi. Karena kalau sekarang tidak diproses kembali nanti yakin kembali akan terjadi. Toh juga selesainya di mediasi kan gitu, minta maaf selesai perkara,” beber Bro Adi.

“Jadi biarkan peradilan yang akan menyelesaikan, penyidik menyelesaikan tugasnya, penuntut melakukan tuntutan. Nanti muaranya di pengadilan. Kalau memang orang ini terbukti bersalah, tentu pengadilan yang akan menguji. Karena kita berharap hukum di negara ini benar-benar ditegakkan. Apalagi menyangkut prinsip-prinsip dasar terkait dengan beragama. Jangan sampai ke depan kasus ini akan terulang kembali. Itu sih harapan saya sebagai masyarakat Bali yang menjaga nilai-nilai toleransi, nilai-nilai kerukunan antar umat beragama, sehingga ke depan kasus ini tidak terjadi, karena ini kasus sudah viral banget. Ini menjadi preseden buruk kalau hanya selesai di proses mediasi,” pungkas Bro Adi. (wid)