Denpasar (Metrobali.com)-

Para pengincar singgasana Bali 1 dan 2 diingatkan agar tidak sembarangan memilih pasangan duet. Fenomena ‘pecah kongsi’ di banyak daerah harus dijadikan pelajaran. Mencari jodoh dengan prinsip ‘asal dapat’, juga harus ditinggalkan.

Peringatan ini disampaikan Ketua DPD Demokrat Bali, Made Mudarta, saat diwawancara perihal endusan berbagai pihak atas ketidakharmonisan hubungan Mangku Pastika dan Puspayoga sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Bali, Selasa (7/2).

Penyebab utama ketidakharmonisan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah lemahnya peraturan perundang-undangan mengenai hubungan kerja antara keduanya dan diabaikannnya etika (fatsun) politik. Namun, banyak pengamat politik juga melihat fenomena pecah kongsi kepala daerah dan wakilnya terkait erat dengan budaya politik, sistem kepartaian, sistem pemilu (pilkada), dan kualitas demokrasi.

Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pemimpin daerah selain sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, juga merupakan pasangan pejabat publik yang terpilih berdasarkan political recruitmen atau model pemilihan yang bersifat langsung dan menjalankan amanah rakyat. “Ini sudah jelas, bahwa paket gubernur dan wakilnya adalah pilihan rakyat. Jadi kalau ada disharmonisasi, itu akan menciderai semangat para pemilih mereka dulu,” terang Mudarta.

Secara khusus, Mudarta memberi apresiasi kepada Pastika dan Puspayoga yang diusung oleh partai besar dan kuat. Untuk itu ia sangat berharap pecah kongsi tidak terjadi atas mereka seperti yang terjadi pada banyak pasangan kepala daerah di Indonesia. “Saya harap mereka tetap merawat kekompakan hingga masa tugas mereka berakhir,” ungkapnya.

Kedudukan kepala daerah dan wakilnya diibaratkan Mudarta sebagai partner yang tidak terpisahkan, baik sebagai penjabat publik, pengelola maupun pemegang tampuk kepemimpinan di daerah. “Keduanya adalah simbol rakyat yang bertindak sebagai pelindung masyarakat daerah dan mewujudkan kepercayaan masyarakat,” imbuh putra Jembrana ini.

Dengan demikian seorang kepala daerah dan wakil harus mampu bersinergi dan harmonis dalam hal berpikir, bertindak dan bersikap mengutamakan kepentingan masyarakat daerah ketimbangan kepentingan pribadi, golongan atau partai.

Menurut pria yang juga pengusaha properti dan percetakan ini, pecah kongsi merupakan dampak dari proses pencalonan pasangan yang tidak punya kedekatan ideologi, tidak kenal dekat secara personal, dan karena ketidakcocokan program. Saat ditanya apakah di 2013 nanti, jika Pastika tak lagi berpaket dengan Puspayoga, Demokrat akan mengambil peluang untuk menggandeng Pastika? “Kami tidak akan mengambil keuntungan dari kondisi yang terjadi saat ini. Kalaupun ada kesempatan, kami punya mekanisme di internal partai. Salah satunya dengan melakukan survey,” jawab Mudarta.

Biasanya, partai sering kali mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan pragmatis. Biasanya partai menentukan calon dan pasangannya menjelang pelaksanaan pilgub. Itu pun berdasarkan pertimbangan pragmatis, yakni siapa yang punya uang besar. Padahal, menurut Mudarta, ‘pengantin’ yang dipaksakan punya potensi besar untuk ‘cerai’ saat sudah berkuasa nantinya.

Karenanya, dalam revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah mengusulkan agar pilkada ke depan hanya memilih kepala daerah. “Kepala daerah yang baru akan memilih wakil dari kalangan birokrasi. Ini akan meminimalisir pecah kongsi yang berakibat pada inefektivitas jalannya pemerintahan daerah,” tutup Mudarta. GAB-MB