Ilustrasi

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Jurnalisme berperan besar dalam lahir, bertumbuh kembangnya negeri ini. Menyebut beberapa, di tahun tahun awal kemerdekaan, pergelokan politik yang melahirkan Orde Baru, demikian juga gerakan reformasi yang melahirkan pemerintahan di Era Reformasi.

Kita mengenal dan akan selalu mengenang sejumlah wartawan yang telah menjadi legenda, menyebut beberapa: Adam Malik, BM Diah, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar dan kemudian PK Ojong dan Jakob Oetama. Dan juga Ketut Nadha (dalam konteks Bali).Menjadi panutan bagi para wartawan generasi berikutnya, pemberi inspirasi dan spirit tidak saja bagi para wartawan, tetapi juga bagi kalangan intelektual dan bahkan masyarakat umum yang peduli dengan isu: kepentingan umum, keadilan dan persamaan terhadap hak-hak manusia.

Sosok sosok yang mampu dalam bahasa sekarang mengembangkan JURNALISME MENCERAHKAN, yang bercirikan: mendidik, mewakili kepentingan umum, mengembangkan profesi yang bertanggung jawab dan memegang teguh profesionalisme (tunduk pada etika jurnalistik).

Pada dasarnya wartawan adalah “guru” buat masyarakat pembacanya, menyajikan pilihan berita berdasarkan fakta (dalam diktum fakta adalah suci, sacred fact), opini yang berimbang sesuai kaidah jurnalistik dan tidak saja merepresentasi, tetapi membela kepentingan umum.

Profesi yang disegani, dan di sana sini ditakuti oleh penguasa (yang punya kecendrungan salah guna).
Realitasnya di hari ini, di tengah disrupsi perubahan yang berlangsung dashyat yang berdampak nyata bagi industri media, dan berdampak dalam pengembangan profesi kewartawanan, tampak terjadi kemerosotan di banyak sisi: pelanggaran etika jurnalistik, pemberitaan yang tidak seimbang, kepentingan publik yang tidak terwakili, kesannya menjadi “corong” berbagai kepentingan karena alasan pragmatisme dan merugikan kepentingan masyarakat pembacanya. Terjadi kerancuan antara pemberitaan yang standar (sesuai etika jurnalistik), dengan kolom advetarial, yang melahirkan anomali pemberitaan dan mengacaukan pembentukan opini publik yang sehat, cerdas dan bertanggung jawab.

Semoga kekuatan demokrasi ke empat, setelah ekskutif, legislatif, yudikatif, media dan jajaran wartawannya mesti segera berbenah kembali ke jati dirinya, sehingga kembali dapat berkontribusi nyata buat bangsa ke depan, sejalan dengan perjalanan sejarah bangsa ini.

Penghormatan dan kesetiaan pada profesi, di tengah disrupsi perubahan yang menyakitkan bagi media dan wartawan, menuntut jiwa besar, kerelaan berkorban, sikap puritan dan ugahari, yang telah diteladankan oleh para wartawan cum pejuang di tahun tahun awal kemerdekaan.
Kebanggaan (dignity) dan harga diri (pride) terhadap profesi harus dijaga, kalau tidak profesi ini akan kehilangan segala-galanya.

Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma), forom diskusi intelektual Hindu di Denpasar.