Menurut perkiraan World Population Growth History, sampai saat ini sebanyak 110 miliar manusia pernah lahir dan hidup di muka bumi.
Dari jumlah tersebut 6,7 miliar manusia masih hidup dan mendiami bumi. Sekitar tiga persen dari penduduk bumi itu mendiami wilayah bernama Indonesia

Memang, Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah penduduk besar. Pada tahun 1930 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 60.700.000 jiwa dan berdasarkan catatan sensus penduduk terakhir, tahun 2000, tercatat 206.265.000 jiwa penduduk yang berdomisili di Indonesia. Dengan angka-angka itu tak berlebihan jika saat ini Indonesia masih berada di peringkat ke-4 dunia, di bawah China, India dan Amerika Serikat.
Besarnya jumlah penduduk ini telah diakui menjadi potensi dan kendala dalam pelaksanaan pembangunan.
Bak dua sisi mata uang, penduduk yang besar akan menjadi sumber daya yang sangat penting untuk dikembangkan guna mendukung pembangunan. Namun jika potensi itu tidak diketahui dengan detil, maka akan muncul sisi mata uang lainnya, jumlah penduduk yang besar tanpa dukungan data yang akurat akan mengakibatan kegiatan pembangunan tidak tepat sasaran.

Untuk pendataan penduduk, setiap negara di dunia memiliki mekanisme yang sama dan dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali sebagai bagian dari rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pendataan ini sering dikenal sebagai sensus atau cacah jiwa untuk informasi tentang anggota sebuah populasi.
Di Indonesia terdapat tiga macam sensus yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu Sensus Penduduk, Sensus Pertanian dan Sensus Ekonomi. Bulan Mei 2010 yang lalu, Indonesia menggelai kegiatan Sensus Penduduk 2010 (SP 2010).Sensus Penduduk adalah kegiatan nasional yang dilaksanakan setiap 10 tahun sekali oleh Cacah Jiwa untuk Indonesia Lebih Baik BPS sebagai amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik. Sebelum kemerdekaan, pemerintahan Hindia Belanda pernah melakukan sensus penduduk di Pulau Jawa pada tahun 1920, sedangkan pada tahun 1930 sensus pertama yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Sesudah kemerdekaan, sensus penduduk telah dilakukan sebanyak lima kali yaitu pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan terakhir 2000.

Dari sekian kali pelaksanaan sensus ada sebuah catatan yang perlu menjadi perhatian. Setelah sensus dilakukan, kerap kali pula tidak mudah untuk menemukan data yang akurat dan tepat.
Dalam pendataan orang miskin guna kepentingan penanggulangan kemiskinan misalnya, BPS pernah terpaksa menerima kenyataan pahit tidak diakui kesahihan publikasinya tentang penurunan angka kemiskinan per Maret 2007. Pertanyaan akan hasil pendataan juga pernah muncul dalam penyusunan daftar pemilih tetap untuk kepentingan pemilihan umum atau
pemilihan umum kepala daerah di beberapa tempat.
Memang tidak mudah untuk mendapatkan data langsung dari warga. Sekalipun petugas sensus telah dilatih jauh hari sebelumnya, tapi selalu ada kendala yang muncul di lapangan. Meskipun setiap petugas sensus menyatakan jaminan kerahasiaan data dalam, namun masih
ada juga warga yang memberikan data yang tidak akurat dengan beragam alasan.

Jika hal ini dibiarkan, tentu saja akan menimbulkan kesalahan beruntun. Ketika warga pemberi data tidak memberikan data yang sesuai dengan kenyataan, petugas sensus juga mencatat dan memasukkan data yang salah. Kesalahan itu tentu akan memengaruhi kesimpulan pada kegiatan lain yang mengacu pada data tersebut. Padahal, informasi yang diperoleh melalui sensus sangat berguna menjadi data akurat bagi pemerintah,pebisnis,dan masyarakat sendiri.

SISTEM BOTTOM UP BUKAN TOP DOWN
Sistem Birokrasi yang Top Down membantu juga dalam memberikan masalah bagi ketidak akuratan data penduduk. Dinas Catatan SIpil sebagai lembaga pemerintah satu-satunya yang memanajemen sumber data dari satu kabupaten dengan populasi rata-rata 500 ribu orang sangat kewalahan dalam tugasnya.
Pemerintahan Desa dan Kelurahan jarang sekali diajak bekerjasama dalam pengumpulan data warga sekitarnya ironisnya warga penduduk lebih dekat berurusan keperluan sipilnya dengan petugas desa/kelurahan karena jarak lebih dekat.
Alangkah bagusnya jika kantor desa/kelurahan dijadikan Ujung Tombak dan diberikan wewenang dalam penanganan kependudukan,penerbitan KTP sehingga data yang diperoleh menjadi lebih cepat karena warga menjadi lebih dekat dalam pengurusan sipilnya. Selain itu Kantor Desa/Kelurahan tidak akan kewalahan dalam penanganan kependudukan karena populasi yang ditangani sedikit 10 ribu sampai 20 ribu jiwa. Pendataan penduduk Lahir,Mati,Datang,Pergi menjadi lebih terdata karena warga akan lebih senang melaporkan kepada yang terdekat.
Kelemahan sistem Top Down adalah populasi yang ditangani terlalu banyak, sumber daya yang ada tidak memadai, para penduduk akan lebih enggan dalam pengurusan keperluan sipilnya karena faktor jarak,waktu dan biaya. Sehingga data yang dimiliki oleh pemerintah tidak menjadi akurat.
PERLU SISTEM KOMPUTERISASI DARI BOTTOM UP
Pemerintah seharusnya sudah harus mulai menggunakan teknologi basis data untuk melakukan pengelolaan data kependudukan. Jika pemerintah telah mempunyai data yang lengkap dan akurat maka data tersebut menjadi sangat bermanfaat untuk berbagai hal misalnya menentukan demografi (jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lain lain) penduduk suatu wilayah,kepadatan suatu wilayah,dan sebagainya dalam perencanaan pembangunan sehingga menjadi lebih terukur, data pemilih pemilu tidak ada yang ganda,dsb.
Teknologi pun hanya sebuah alat jika tanpa sebuah mekanisme operasional yang benar menjadi tidak optimal. Teknologi basis data ini haruslah dipasang di setiap Kantor Desa/Kelurahan guna membantu pelayanan public, Seluruh data yang ada di setiap Kantor Desa/Kelurahan tersebut baru terhubung ke Kantor Catatan Sipil. Sehingga Kantor Catatan Sipil hanya melakukan rekapitulasi dari seluruh data yang dimiliki oleh Kantor Desa/Kelurahan. Jika Teknologi Basis Data tersebut hanya dipasang di Kantor Catatan Sipil, akan dapat dilihat ketidakakuratan datanya karena tidak memenuhi sistem bottom up diatas.

Oleh
Nyoman Budi Wirayadnya