NASIB seni pertunjukan joged bumbung memang cukup dilematis. Pertunjukan seni pergaulan yang bersifat balih-balihan (hiburan) ini acapkali terhegemoni pengaruh negatif budaya global. Sebagai budaya salah kaprah dan cacat moral. Tak pelak, pencitraan dari pertunjukan seni budaya berbasis kearifan lokal khas daerah Bali ini pun tersandera sebagai tarian pornoaksi.

Pasalnya, kini tarian joged bumbung sebagai tarian pergaulan yang nyeni disulap menjadi tarian demonstrasi pertunjukan yang cenderung meniru tarian striptease, yakni dari olah gerakan tubuh sensual menjadi seksual. Karena ulah nakal dan nyeleneh dari segelintir penarinya, yang cenderung mengobral goyangan pornoaksi.

Ironisnya, para elite politik penguasa, termasuk perangkat lembaga desa pekraman bersama jajarannya malahan disinyalir sebagai provokator dari konstruksi budaya salah kaprah dan cacat moral itu. Makanya, para tokoh dari kalangan praktisi, akademisi, intelektual, seniman, hingga budayawan secara terus menerus berbenah diri. Bahkan sempat mengadakan parade joged bumbung se-Bali tahun 2010. Sebagai upaya edukasi publik secara konkret dalam menghapuskan beragam budaya salah kaprah dan cacat moral termasuk joged pornoaksi.

Namun, rupanya upaya tersebut belum sepenuhnya mampu menghapus citra seni pertunjukan joged pornoaksi dalam kehidupan keseharian masyarakat. Pasalnya, rekaman aksinya itu kembali tersebar luas di jejaring berbagi video bersama, yakni youtube. Padahal, dalam beberapa tahun lalu sudah sempat diblokir atau ditutup, sehingga tidak bisa diakses secara publik. Ironisnya, para pihak terkait di bidangnya kini saling tuding dan seolah tak ada yang mau bertanggungjawab.

Komposer Bali, I Ketut Lanus, mengatakan bahwa seni pertunjukan joged pornoaksi terjadi merupakan dampak negatif dari budaya global yang pragmatis karena terpicu kapitalisme global yang berorientasi kepentingan keuntungan (profit) semata. Bahkan, untuk menyentil perilaku nyeleneh itu, pihaknya bersama sanggar Cahya Art Denpasar, yang dipimpinnya sempat menggarap tarian kreasi bertajuk Joged Pong. Bertujuan mengajak publik untuk lebih memuliakan penari tanpa kehilangan apresiasi artistiknya sebagai penguatan nilai adiluhung dari ruh dan taksu budaya Bali secara mendunia. Tarian ini melibatkan penata tari Ling Rianti dan penata kostum Dewa Ayu Weda Asih dari sanggar Cahya Art Suka, Denpasar.

Diharapkan, dengan tarian Joged Pong ini para penari Bali tidak lagi takut menarikan joged bumbung. Karena, seni pertunjukan joged bumbung merupakan tarian sosial yang sangat populer dan cukup signifikan dalam meneguhkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Kini dalam menyikapi fenomena joged pornoaksi kembali muncul di dunia maya, internet sudah seharusnya kalangan masyarakat terutama para elite politik penguasa pemangku kebijakan termasuk bendesa adat dengan jajarannya di desa pekraman untuk lebih mawas diri dalam melakukan pengawasan agar di daerahnya tidak muncul kembali seni pertunjukan joged pornoaksi. “Ayo tunjukan bukti nyata dan konkret sebagai pemimpin yang benar-benar memuliakan dan sekaligus melindungi kehidupan seniman,” tegasnya.

Sementara itu, salah seorang penari joged bumbung terbaik Bali tahun 2010, Ni Luh Wiwik Widiastuti mengakui memang sangat sedih dan prihatin dengan adanya seni pertunjukan joged pornoaksi, karena dapat merusak citranya sebagai penari Bali. Bahkan, dengan adanya pertunjukan joged pornoaksi sempat membikin dirinya takut menari di depan publik. Selain itu, para pelajar yang baru belajar menari pun terkesan enggan dan bahkan tidak mau belajar menarikan tarian joged bumbung. Rupanya, mereka trauma dicap sebagai penari joged pornoaksi. Akibatnya, proses regenerasi tarian joged menjadi terhambat dan bahkan semakin merosot. “Jadi penari joged saat ini lebih dominan merupakan penari senior atau lawas yang sebagian besar sudah berkeluarga,” katanya.

Atas dasar itulah, penari joged bumbung, yang kini bernaung dalam sanggar joged Sekar Pelangi Tabanan, pimpinan Ketut Citra berharap pemerintah secara kontinyu mengadakan pembinaan dan sekaligus menyelenggarakan kompetisi berupa parade joged bumbung se-Bali secara reguler tahunan. Dimulai dengan menjaring penari joged bumbung dari tingkatan pelajar dan mahasiswa di setiap kabupaten/kota. Dan, nantinya yang terbaik dari setiap kabupaten/kota dilombakan ditingkat provinsi. Di mana seluruh penari terbaik ini termasuk para pengibingnya pun diwajibkan tampil di ajang Pesta Kesenian Bali. Sebagai media edukasi publik supaya seni pertunjukan joged bumbung tidak dicap pengancur tata nilai adilihung kebudayaan Bali secara mendunia.

Lebih jauh, Prof. Dr. I Wayan Dibia, guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, menegaskan instansi terkait dalam pemerintah harus lebih proaktif dalam melakukan pengawasan. Guna mencegah terjadinya pelanggaran tata nilai artistik seni pertunjukan budaya Bali di dalam kehidupan masyarakat. Karena, joged pornoaksi dapat mengancam terjadinya degradasi kebudayaan Bali secara mendunia. Pertunjukan pornoaksi tidak boleh terjadi lagi di masyarakat. Ini artinya para elite politik penguasa pemangku kebijakan di tingkat desa pekraman harus mengawasi daerahnya dengan lebih ketat dengan tindakan reaksi cepat dan tegas. “Sehingga tidak dicap sebagai provokator dari konstruksi lahirnya seni pertunjukan joged pornoaksi di tengah kehidupan masyarakat,” ingatnya.

Kemudian, Ketut Suastika, sebagai Kepala Disbud Bali sempat menegaskan akan melakukan koordinasi dengan para pihak terkait untuk menghapus gambar joged pornoaksi di jejaring berbagi vidoe bersama, youtobe, dan menindak para pelakunya secara hukum. Agar upaya peningkatan pelestarian dan pengembangan seni budaya bangsa yang berbasis kearifan lokal Bali tidak terhambat. Selain itu, juga seni pertunjukan joged bumbung tetap mampu menjadi kesenian primadona masyarakat yang memiliki tata nilai adiluhung kebudayaan Bali sarat makna dalam nuansa magis dan spiritual religius.”Yang pasti pihaknya akan selalu berupaya bergerak cepat untuk mengatasi berbagai persoalan yang menimpa para seniman Bali ke depannya,” janjinya.(*)

 

Oleh I Nyoman Wija, SE., Ak., M.Si*

*) Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer sebuah Media Harian di Bali, yang juga Aktivis Kordem Bali dan Karyasiswa Kajian Budaya Pascasarjana Unud Denpasar.

 

 

.