Denpasar (Metrobali.com)-

 

Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia menggelar pertemuan pada Selasa-Rabu (30-31 Agustus 2022). Kegiatan yang digelar di hotel Amaris, Denpasar ini mengangkat tema Narasi Penyelamatan Pesisir, Laut dan Pulau Kecil Kawasan Timur Indonesia. Kegiatan ini sebagai rangkaian dari pertemuan tahunan Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia.

 

Pada hari pertama workshop menghadirkan R. Moh Ismail selaku Koordinator Kelompok Masyarakat Hukum Adat, Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Narasumber kedua ialah Suhana sebagai Wakil Sekretaris Pandu Laut Nusantara. Secara umum kondisi masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memanfaatkan ruang laut sebagai penunjang ekonomi, tempat berusaha dan sebagai tempat tinggal atau pemukiman. Dari KKP sendiri, salah satu bentuk perlindungan melalui penguatan masyarakat hukum adat, lokal dan tradisional.

 

“Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki potensi yang sangat besar yang harusnya bisa dikelola secara berkelanjutan. Posisi dan nilai strategis wilayah laut Indonesia yang sangat strategis yg merupakan  modal dasar pembangunan nasional,” ujar Ismail, selaku narasumber pertama.

 

Sebagai negara kepulauan, seharusnya masyarakat pesisir pulau kecil mendapatkan perlindungan dan bisa lebih sejahtera dimana hal ini dijamin oleh undang-undang. Namun kenyataannya keterancaman wilayah pesisir dan pulau kecil semakin meningkat dari tahun-ketahun.

 

Di akhir sesi, Ismail memberikan beberapa rekomendasinya diantaranya perlu adanya komitmen nasional dalam meningkatkan kesejahteraan, peningkatan bantuan sarana dan prasarana serta kebutuhan dasar bagi taraf hidup MHA. Selain itu perlu adanya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan akses IPTEK serta informasi pengetahuan peningkatan mutu hasil produksi perikanan dan kelautan.

 

Selanjutnya adalah pengadaan sarana transportasi, infrastruktur, dan sarana penunjang lainnya. Terakhir yakni Tersedianya akses pasar, permodalan, kemitraan , lapangan pekerjaan dan jejaring untuk pengembangan usaha dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

 

Sementara itu Suhana, narasumber kedua dari Pandu Laut, menerangkan saat ini terdapat 3 tantangan yang sedang dihadapi yakni penurunan keanekaragaman hayati secara global, perlunya memberikan nutrisi kepada populasi yang terus bertambah. Terakhir adalah keharusan untuk mengurangi perubahan iklim. Sehingga ia menyerukan agar mewujudkan keadilan sosial.

 

“Keadilan sosial adalah kunci tata Kelola laut yang lestari. Selama ini seruan keadilan laut ini sudah banyak disuarakan namun tidak jelas keadilan laut itu seperti apa. Kita perlu mendokumentasikan inisiatif penatalayanan lokal dan upaya perlawanan yang terkait dengan laut dengan lebih baik, dan memperkuat suara individu dan masyarakat yang mengambil tindakan dan mempertaruhkan hidup mereka untuk melindungi lingkungan laut dan pesisir,” terangnya.

 

“Pengakuan dan dukungan yang lebih besar diperlukan untuk memungkinkan dan mempromosikan upaya pengelolaan laut lokal. Pemerintah, LSM konservasi, dan organisasi filantropi perlu menempatkan pengelola lokal – termasuk masyarakat pesisir, nelayan kecil, Masyarakat Adat, dan perempuan – di garis depan upaya untuk menjaga laut,” tambahnya.

 

Pada hari kedua, pertemuan jaring Nusa lebih focus membahas isu dan permasalahan pesisir, laut pulau kecil di Kawasan timur Indonesia. Masalah pengelolaan wilayah pesisir pulau kecil antara lain masuknya tambang ke Pulau-pulau kecil, diantaranya Pulau Sangihe dan Pulau Obi.

 

“Kebijakan pembangunan yang ada bertentangan dengan semangat keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan serta penyejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan kecil,” jelas Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa KTI.

 

Sementara itu, Parid Ridwanuddin, anggota Jaring Nusa sekaligus Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, menyatakan bahwa kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia Timur terancam oleh dampak buruk krisis iklim. “Dampak buruk krisis iklim telah mengancam tenggelamnya ribuan desa pesisir di kawasan timur Indonesia. Rinciannya, sebanyak 175 desa pesisir di Bali, 297 desa pesisir di NTB, 1.018 desa pesisir di NTT, 783 desa Pesisir di Sulawesi Utara, 1.011 desa pesisir di Sulawesi Tengah, 527 desa pesisir di Sulawesi Selatan, 954 desa pesisir di Sulawesi Tenggara, 201 desa pesisir di Gorontalo, 152 desa pesisir di Sulawesi Barat, 1.064 desa pesisir di Maluku, 934 desa pesisir di Maluku Utara, lebih dari 570 desa pesisir di Papua Barat, serta sebanyak 662 desa pesisir di Papua,” ungkapnya.

 

Dampak buruk krisis iklim diperparah oleh ancaman ekspansi industri ekstraktif yang telah dan tengah menghancurkan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di kawasan Timur Indonesia, khususnya tambang nikel yang didorong oleh pemerintah untuk mengembangkan kendaraan listrik berbasis baterai. Masyarakat pesisir yang hidupnya tergantung pada sumber daya pesisir dan laut kehilangan ruang hidupnya akibat ekspansi tambang nikel.

 

Berdasarkan catatan WALHI Maluku Utara, pertambangan nikel telah mengakibatkan hilangnya hutan alam di pulau kecil seluas 16.000 hektar dalam 15 tahun terakhir. Selain itu. Industri pertambangan nikel telah menyebabkan pencemaran laut dan menyebabkan penuurunan jumlah nelayan. “Sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018 saja, telah terjadi penurunan jumlah nelayan dari angka 8.587 orang pada 2004, menjadi 3.532 orang pada 2018. Artinya, pencemaran laut akibat nikel telah menyebabkan orang yang berprofesi nelayan sebanyak lima ribu orang kehilangan pekerjaan,” ungkap Faizal Ratuela, Anggota Jaring Nusa KTI yang juga Direktur WALHI Maluku Utara.

 

“Momen G20 merupakan ajang bagi pemerintah Indonesia untuk berkomitmen menjaga pesisir, laut dan pulau kecil Indonesia khususnya wilayah timur Indonesia. Sumberdaya ikan Indonesia secara umum sudah mengalami overfishing akan tetapi pemerintah tidak berupaya memulihkan kondisi itu dan berpotensi menurunkan ketahanan pangan serta ekonomi masyarakat pesisir dan pulau kecil. Wiro mendesak agar Kementerian Kelautan Perikanan menghentikan penambahan izin kapal skala besar dan melakukan tindakan pemulihan sumbedaya ikan di Indonesia secara strategis,” tegas Wiro Wirandi, Anggota Jaring Nusa sekaligus Manajer Ocean EcoNusa.

 

Seluruh peserta yang tergabung dalam pertemuan Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia dengan tema Coastal and Small Island People Summit 2022 ini mendesak pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi dan menghentikan seluruh proyek industri ekstraktif di wilayah pesisir dan pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia. Tak hanya itu, pemerintah juga didesak menjamin pengakuan dan perlindungan wilayah Kelola rakyat di wilayah pesisir pulau kecil serta segera menyusun skema penyelamatan desa-desa pesisir di kawasan tersebut dari ancaman dampak buruk krisis iklim.