KTT G20 telah berakhir, melahirkan G20 BALI LEADERS’ DECLARATION dengan 52 poin materi Deklarasi.

Denpasar (Metrobali.com)-

Menarik disimak isu ketahanan pangan global masuk dalam paragraph awal Deklarasi Bali, butir 5 sampai dengan butir 10. Deklarasi pada butir 5 – 10, menggambarkan kesadaran pemimpin dunia dalam G20 akan pelik, rumit dan risiko yang harus ditanggung dunia akibat dari rentannya ketahanan pangan dan dampaknya pada kelaparan, krisis pangan dan naiknya angka kemiskinan dan ketidakstabilan sosial yang dibawakannya.
Sebetulnya adalah ironi, dunia yang begitu cepat kemajuan teknologinya, termasuk teknologi di sektor pangan, menjadi begitu gagap akibat terjadinya disrupsi gandum dan pupuk dari Ukraina dan Rusia akibat perang yang terjadi di antara mereka.
Dalam butir 5 paragraph tiga Deklarasi tertulis:
“Take action to promote food and energy security and support stability of markets, providing temporary and targetted support to cushion the impact of price increases, srengthening dialogue between producers and consumers, increasing trade and investments for long-term food and energy security needs, resilent and sustainable food, fertilizer and energy system”.
Pentingnya keamanan ketersediaan pangan dan energi pada tingkat harga yang stabil, melalui dialog antar negara: produsen dan konsumen untuk peningkatan perdagangan dan investasi di sektor pangan dan energi.
Pernyataan ini membuktikan, dunia tidak punya stock pangan global menghadapi krisis, sehingga sekarang ini ada 350 juta penduduk dunia mengalami krisis pangan dan 50 juta di antaranya menderita kelaparan.
Dalam butir 9 Deklarasi Bali tertulis:
“We are commited to supporting the adoption of innovative practises and technologies, including digital innovation in agriculture and food system to enhance productivity and sustainability with harmony with nature and promote farmers and fishers’ livelifehoods and increase income, in particular small holders by increasing effiviency, equal access to food supply chain “.
Deklarasi yang menggambarkan komitment keberpihakan terhadap peningkatan kesejahteraan bagi petani dan nelayan kecil, melalui inovasi teknologi dan kemudahan akses terhadap sistem distribusi.
Sebuah pengakuan jujur yang berupa: kesenjangan ekonomi adalah persoalan serius yang harus dicarikan solusinya.

Tantangan bagi Indonesia

Peningkatan ketahanan pangan yang termuat dalam Deklarasi Bali, tantangan yang semestinya direspons oleh Indonesia, pertama, belajar dari pengalaman perang di Ukraina (disebut secara eksplisit dalam Deklarasi), yang mengakibatkan krisis pangan dan energi, kebijakan ketahanan pangan nasional yang menyerahkannya dalam mekanisme pasar global yang kapitalistik, sebagaimana diatur dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, sudah semestinya dicabut.
Kebijakan kebijakan strategis yang termuat dalam Deklarasi untuk swasembada pangan dan atau meminimalkan ketergantungan impor pangan menjadi penting untuk dijadikan rujukan
Kedua, diversifikasi produksi dan konsumsi pangan harus segera dilakukan, masak di sebuah negara tropis yang alamnya nan subur dan mayoritas penduduknya makan tempe, mengimpor kedele sekitar 3.5 juta ton per tahun, dan mengimpor gandum sekitar 10 juta ton per tahun. Dan jutaan hektar hutan sagu yang merupakan bahan pangan pokok penduduk Papua ditelantarkan , dan atau diganti dengan tanaman industri yang tidak ramah lingkungan, meminggirkan penduduk lokal dan memberikan surplus ekonomi besar bagi lapisan tipis elite.
Ketiga, pembangunan pertanian tidak bisa lagi dianaktirikan, rintisan pembangunan bank pertanian yang melayani kegiatan ekonomi jutaan petani, yang berkembang bersama dengan peningkatan kesejahteraan petani. Tidak seperti selama ini yang merupakan sebuah ironi,bank-bank BUMN aset dan labanya meningkat tinggi, tetapi para petaninya meminjam kata pepatah “hidup segan, mati tak mau”, menjadi warga negara marginal, hidup pas-pasan dan sering kekurangan.
Deklarasi Bali semestinya menghentakkkan kesadaran pejabat publik dari “lamunannya” yang panjang, bahwa mengelola kehidupan jutaan keluarga petani tidak bisa setengah hati, sambil lalu, dan dengan sikap “dikit-dikit impor”, biaya sosialnya besar: krisis pangan, meningkatnya angka kemiskinan dan terganggunya stabilitas sosial.

Penulis : Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik.