BERAGAM persoalan klasik yang cukup urgen dan sangat relevan terhadap upaya peningkatan citra budaya dalam konstruksi PKB ke-35 tahun ini masih menjadi bagian yang belum sepenuhnya dituntaskan secara konstruktif dengan asas kesadaran hati yang tulus iklas tanpa pamrih. Di antaranya persoalan pasar malam atau pesta dagang, aksesbilitas arus lalu lintas, parkir liar di atas trortoar dan ruas jalan raya, kesemrawutan estetika kota berbudaya, rendahnya perilaku tertib dan bersih masyarakat, serta tindakan hegemoni persekusi etnisitas masyarakat dari kelompok internal tertentu dalam ekologi desa pekraman. Selain itu, persoalan sound system & lighting rupanya masih menjadi kendala teknis tersendiri terhadap sejumlah pementasan seni pertunjukan yang disajikan dalam PKB tahun ini.

Dalam konteks ini, artinya bahwa semangat pengadaan sound system & lighting untuk meringankan beban seniman supaya mampu memberikan sajian seni pertunjukan secara maksimal seakan belum mampu terjawab dengan baik dalam PKB tahun ini. Bahkan, terkesan sound system & lighting dengan harga miliaran rupiah belum sepenuhnya dapat melayani kebutuhan seni pertunjukan yang telah diagendakan selama sebulan penuh dalam PKB tahun ini, yang mengusung tema Taksu: Membangkitkan Daya Kreatif dan Jati Diri. Sebut saja seperti kegiatan pementasan seni pertunjukan Drama Musikal Pramusti Bali dan Parade Lagu Daerah Bali, misalnya, yang rupanya terpaksa masih harus menyewa sound system & lighting untuk memenuhi perlengkapan dari kebutuhan pemanggungannya. Padahal, di sisi lain kalangan seniman dituntut tampil totalitas dalam semangat ngayah tulus iklas tanpa pamrih dengan bantuan dana operasional yang amat sangat terbatas.

Ironisnya, realitas dari fenomena ini seakan bertolak belakang dengan pernyataan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika dalam pelaksanaan PKB ke-34 tahun lalu yang dengan tegas selalu mengingatkan Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Bali agar memanfaatkan sound system & lighting yang telah disediakan dan tidak boleh menyewa lagi, serta jangan pernah membebani kalangan seniman. Artinya, segala kebutuhan pemanggungan merupakan tanggungjawab penuh pemerintah dalam hal ini Dinas Kebudayaan Bali dengan seluruh jajarannya sebagai pihak penyelenggara. Kalangan seniman harus diperhatikan dengan lebih baik dan dimuliakan sebagai penyangga utama konstruksi PKB.

Terlebih lagi, gubernur Bali bahkan dalam rapat pleno PKB tahun ini selalu mengingatkan bahwa evaluasi dari seluruh unsur penyelenggaran tetap harus dilakukan sebagai pedoman untuk pelaksanaan kegiatan serupa tahun depan, agar lebih baik terutama dalam kualitas penyelenggaraan, peningkatan partisipasi peserta, serta animo masyarakat hingga aspek-aspek teknis yang lebih konstruktif, sinergis dan koordinatif. Dalam rangka peningkatan kualitas dan karakter bangsa terutama sumber daya masyarakat Bali. Hal ini mengingat PKB sebagai penyangga utama dan pengawal peradaban Bali sekaligus media publik untuk meneguhkan komitmen dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali ke depan demi mewujudkan masyarakat Bali yang aman, damai dan sejahtera.

Lantas, masih beranikah para tim pengawas dan pengamat independen, termasuk tim kurator PKB tahun ini melakukan kritisi yang cerdas, bernas dan jujur dalam konteks penguatan ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan seni budaya lokal khas Bali, sebagai daya saing bangsa secara global dalam industri kepariwisataan dunia. Inilah tantangan mahadasyat dari seluruh komponen masyarakat Bali terutamanya kalangan kepanitian PKB tahun ini.

Di samping itu, persoalannya, apakah para elite penguasa pemangku kebijakan selaku pemimpin masih punya nyali besar ataupun keberanian dan kepatuhan serta ketaatan untuk menegakkan hukum negara demi melindungi dan mengayomi kepentingan khayalak publik, kalangan masyarakat dalam arti seluas-luasnya dari tekanan hegemoni persekusi etnisitas masyarakat dari kelompok internal tertentu dalam ekologi desa pekraman secara konkret dan nyata. Selain itu, adakah kemauan kuat untuk membela kepentingan atas hak mutlak para seniman dalam mengapresiasi karya kreatifnya dalam PKB selanjutnya.

Inilah ujian kompetensi secara mutlak dari kepemimpinan Bali saat ini, yang dituntut memiliki kemampuan untuk merumuskan sasaran dengan jelas, serta langkah yang tepat untuk mencapai suatu tujuan dengan kewenangan secara konstruktif. Terutama dalam mengonstruksi PKB setiap tahun sebagai pilar utama meningkatkan upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali. Jika kepemimpinan Bali gagal mendorong karakter konstruktif yang kolektif, santun, damai dan bermartabat serta mengakselerasi sikap dan perilaku publik yang simpatik sudah dapat diyakini dan bahkan dipastikan bahwa denyut nadi kehidupan seni budaya bangsa khususnya kearifan lokal khas Bali akan semakin termarjinalisasi dalam pergaulan internasional. WB-MB